Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
PERIODE Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa bakti 2019-2024 tinggal hitungan bulan lagi. Di pengujung masa jabatan tersebut, DPR justru bernafsu membahas revisi UU tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan revisi UU Kepolisan Republik Indonesia (Polri).
Secara etika, pembahasan kebijakan atau RUU baru yang strategis menjelang masa bakti berakhir semestinya tidak dilakukan DPR. Pembahasan di ujung masa bakti, apalagi dengan cara dikebut, amat rawan terjadi pembahasan transaksional.
Nuansa transaksional kian kental sebab sejak awal pembahasan RUU itu DPR tidak melibatkan masyarakat. Itu saja sudah menunjukkan bahwa revisi UU tersebut bukan untuk kepentingan publik. Dengan adanya dugaan transaksi di balik pembahasan dua RUU tersebut, kritik dan usul masyarakat sipil terpinggirkan.
Jika proses legislasinya transaksional, hal itu dikhawatirkan membuat pasal-pasal yang dilahirkan dari pembahasan tersebut juga tidak akan mencerminkan kepentingan rakyat. Dengan mengabaikan kritik dan usul dari publik, pasal-pasal yang dihasilkan bakal sulit untuk diterima masyarakat. Bahkan, amat mungkin berpotensi berbenturan dengan kepentingan publik.
Selain itu, terkait dengan substansi RUU, pasal-pasal yang kini tengah dibahas itu dicemaskan akan menghambat reformasi TNI dan Polri. Dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang sudah masuk tahap penyusunan RUU TNI, salah satu poin yang paling disorot ialah adanya perluasan jabatan sipil yang bisa diduduki perwira aktif TNI. Itu berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI.
Memang, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto sudah memastikan dwifungsi TNI yang ada di dalam RUU TNI tidak akan mengembalikan TNI ke masa Orde Baru. Dia juga menegaskan bahwa anggota TNI hanya ditempatkan ke pos-pos kementerian atau lembaga untuk mendukung kinerja pemerintah.
Namun, siapa yang bisa menjamin kalau masa-masa gelap Orde Baru ketika TNI, yang saat itu masih bernama ABRI, begitu berkuasa tidak akan terjadi lagi? Bukan mau berburuk sangka, melainkan dengan kemampuan dan jabatan-jabatan sipil yang bakal mereka kuasai jika nanti RUU itu disahkan, tidak ada yang bisa menggaransi dwifungsi TNI tidak bakal lahir kembali.
Poin lain yang menjadi sorotan publik ialah usul penghapusan Pasal 39 UU TNI. Pasal itu memuat sejumlah pelarangan bagi anggota TNI, di antaranya dilarang menjadi anggota partai politik, dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis, dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis, dan terakhir dilarang terlibat dalam kegiatan yang bertujuan dipilih sebagai anggota legislatif atau jabatan lain yang bersifat politis.
Pasal tersebut sejatinya menyimpan pesan bahwa anggota TNI harus profesional dan tidak boleh bergeser dari pekerjaan mereka. Karena itu, banyak pihak menyayangkan bila pasal tersebut justru diusulkan untuk dicabut. Siapa yang mengurus pertahanan negara jika anggota TNI boleh berbisnis? Kalau alasannya demi meningkatkan kesejahteraan prajurit, bukankah TNI bisa mengusulkan kenaikan tunjangan atau gaji?
Karena itu, mengingat krusialnya pembahasan RUU tersebut, DPR semestinya legawa menyerahkan pembahasan kepada DPR periode berikutnya. Baik RUU TNI maupun Polri sesungguhnya masih memerlukan kajian dan evaluasi yang lebih matang terkait dengan substansi dan urgensinya. Apalagi DPR periode sekarang sebetulnya masih memiliki banyak utang pengesahan RUU.
Pada tahun sidang 2023-2024, ada 47 RUU yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Dari 47 RUU tersebut, baru empat yang tuntas, yaitu RUU tentang Perubahan atas UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), RUU tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ), RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan RUU tentang Perubahan atas UU No 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN).
Artinya, masih ada 43 RUU yang masih belum tuntas dibahas. Itu yang semestinya diprioritaskan para wakil rakyat di Senayan, bukan malah asyik kebut sendiri membahas revisi RUU TNI dan Polri. DPR hendaknya pandai memilih dan memilah mana RUU yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan mana yang tidak.
DUA kasus besar yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tidak bisa dianggap remeh.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan pada 2026, atau mengambil porsi 20% lebih APBN tahun depan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
EKONOMI Indonesia melambung di tengah pesimisme yang masih menyelimuti kondisi perekonomian global maupun domestik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved