Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
ADA hal unik dan lucu dalam rapat kerja Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas dengan Komisi XI DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/6) lalu. Dalam rapat tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa berkeluh kesah soal masih banyaknya pelaksanaan program pembangunan yang tidak sesuai dengan perencanaan. Bahkan, katanya, meleset jauh dari target.
Ia mencontohkan adanya pembelian motor trail dalam suatu program revolusi mental. Suharso juga mengatakan ada salah satu daerah yang tampak tidak mengerti tentang penggunaan anggaran program penanganan tengkes (stunting). Alih-alih untuk menangani tengkes secara langsung, kata Suharso, dana itu justru digunakan untuk memperbaiki pagar puskesmas.
Apa yang dipaparkan Suharso itu tentu saja terdengar ironis dan lucu. Lucu karena keluhan yang ia sampaikan justru merupakan bagian dari satu tugas dan kewajiban lembaga yang dipimpinnya, yakni merencanakan pembangunan nasional. Alasan bahwa Bappenas tidak lagi punya fungsi mengawasi dan memberi sanksi, tidak bisa menjadi pembenaran untuk lepas tangan dan menyalahkan eksekutor atau daerah selaku pengguna anggaran.
Pemerintah pusat seharusnya dapat menyelaraskan eksekusi program dengan perencanaan. Jika dalam perencanaan kriterianya sudah terukur, jelas, dan benar, tentu bakal lebih memudahkan kementerian/lembaga dalam menyusun kegiatan. Segala hal tentu ada prosesnya, bertahap dari hulu hingga hilir. Analoginya, sampah yang ditemukan di laut atau muara tidak tiba-tiba ada di situ, sebagiannya juga terbawa dari hulu. Begitu juga dengan output dan outcome pembangunan, jika perencanaan dan pelaksanaannya amburadul, bagaimana mau terlihat baik hasilnya?
Harus diakui, suka atau tidak suka, dengan adanya Repelita (Rencana Pembangunan Lima tahun) dan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara), pembangunan di orde yang telah lalu relatif terlihat lebih rapi dan terencana. Kini, semua itu sudah dilupakan. Yang ada hanya anggaran tahunan sehingga pembangunan bersifat temporer, yang sering kali tidak jelas arahnya.
Salah satu contohnya ialah program penanganan tengkes yang sudah bertahun-tahun, hingga kini belum beres hasilnya. Begitu juga program revolusi mental yang hingga kini baru sebatas jargon. Padahal, sudah berapa banyak dana digelontorkan untuk kedua program tersebut. Belum lagi program di bidang tata kota, pertanian, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Persoalan-persoalan di sektor itu tidak pernah tuntas dan selalu berulang lantaran tidak direncanakan dengan matang dan sungguh-sungguh.
Sekali lagi, harus kita tegaskan, keberhasilan dan kesinambungan pembangunan hanya bisa dilakukan dengan membuat rencana jangka panjang yang dilakukan setahap demi setahap. Harus diakui, kini langkah itu makin ditinggalkan. Mengembalikan Bappenas menjadi lembaga pengawas yang terlalu berkuasa dan berwenang memberi sanksi seperti masa Orde Baru, tentu saja bukanlah solusinya. Jangan sampai lembaga itu terjebak menjadi calo proyek.
Yang dibutuhkan saat ini ialah kerja sama di antara tiap-tiap kementerian dan lembaga, pusat dan daerah, pemerintah dan swasta, dan sebagainya. Tidak bisa merencanakan atau membuat program tanpa melibatkan dan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Lihat saja program Tapera yang kini menimbulkan banyak penolakan. Itu lantaran tidak direncanakan dengan matang dan dilakukan hanya sepihak.
Mengurus negara butuh perencanaan matang. Tanpa manajemen perencanaan yang matang, pemerintah hanya akan seperti petugas pemadam kebakaran. Ada banjir, bikin program. Demam berdarah merebak, kembali buat program. Tidak pernah tuntas dan berkesinambungan. Hal itu karena tidak direncanakan dengan matang dan saksama, hanya bersifat parsial serta temporal.
Harus diakui, yang kita butuhkan saat ini ialah seorang konseptor, bukan sekadar operator, apalagi hanya orator.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi.
PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tidak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat.
DI tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, soliditas di antara para punggawa pemerintah sangat dibutuhkan.
DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat.
PANCASILA telah menjadi titik temu semua kekuatan politik di negeri ini.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved