Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
TADI malam, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merampungkan hasil rekapitulasi suara secara nasional. Tentu ada yang puas dan tidak puas dengan hasil rekapitulasi itu. Apalagi, berbagai dugaan kecurangan santer mewarnai selama proses pesta demokrasi tersebut, dari mulai proses penjaringan kandidat, masa kampanye, hingga waktu pencoblosan dan penghitungan suara.
Untuk membuktikan dugaan-dugaan kecurangan itu, siapa pun boleh dan berhak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Secara konstitusional, mekanisme ini mendapat jaminan konstitusi UUD 1945 hasil perubahan ketiga, terutama dalam Pasal 24C ayat (1). Di situ ditekankan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (pemilu).
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil pemilu diharapkan dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu, juga untuk menjamin prinsip keadilan (fairness) dalam penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut. Artinya, cara yang ditempuh mereka yang merasa tidak puas dengan mengajukan gugatan ke MK adalah sah dan konstitusional.
Mereka punya hak, dan itu dilindungi oleh konstitusi. Jangan mereka yang mengajukan gugatan ke MK dianggap sebagai orang yang tidak siap kalah atau tidak mau legawa atas hasil pemilu. Justru apa yang mereka lakukan itu merupakan perwujudan penggunaan hak konstitusional. Karena itu, langkah tersebut mesti diapresiasi, bukan dicaci.
Selain itu, gugatan ke MK adalah bentuk ikhtiar memperbaiki kualitas pemilu ke depan. Secara lebih luas, mereka yang menggugat itu sedang berupaya memperbaiki kualitas demokrasi. Saat Pemilu 2024 dikritik banyak kalangan sebagai pemilu yang meminggirkan prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan, maka langkah mempersoalkannya ke MK patut dihargai.
Pemilu, baik untuk memilih presiden maupun anggota legislatif, hanyalah salah satu instrumen dalam negara demokrasi. Oleh karena itu, pelaksanaannya harus selaras kaidah, asas, dan prinsip demokrasi, yaitu jujur, adil, serta tanpa diskriminasi dan mengembangkan ketakutan. Artinya, siapa pun berhak memilih dan dipilih, selama semua persyaratan terpenuhi dan tidak ada aturan yang dilanggar.
Untuk menjalankan prinsip pemilu yang berkeadilan diperlukan usaha keras dari semua pihak, bukan cuma Bawaslu dan KPU. Mereka bisa saja berasal dari partai politik, advokat, bahkan masyarakat umum, yang merasa tidak puas dengan pelaksanaan dan hasil pemilu. Mereka yang mengajukan gugatan mengenai hasil pemilu merupakan bagian dari proses itu. Gugat-menggugat, protes-memprotes adalah bagian dari kehidupan berdemokrasi, selama cara yang ditempuh sesuai koridor konstitusi, bukan dengan cara-cara anarkistis.
Sebagai lembaga penjaga konstitusi, MK yang memeriksa perkara sengketa pemilu juga harus bersikap adil dan tidak semata melulu memutus soal hasil. Untuk menjaga demokrasi, mereka jangan segan-segan masuk dalam proses jika ditemukan suatu kesalahan, apalagi jika persoalannya sangat serius yang bertentangan dengan konstitusi. Netralitas hakim konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara dalam sidang gugatan ini pun harus dijaga. Jangan sampai mereka juga jadi bagian dari yang merestui pelanggaran.
Hal terpenting yang harus ditekankan, pemilu jangan sekadar dipandang sebagai jalan untuk meraih kekuasaan. Ia justru mesti jadi medium, sarana pembelajaran bagi masyarakat dalam berdemokrasi. Bagaimana mereka mempergunakan hak dan kewajiban yang benar, yang sesuai dan telah diatur dalam undang-undang. Melalui pemilu, kita semua belajar menjalankan dan menghargai prinsip-prinsip dan etika berdemokrasi, bukan melulu untuk bicara perkara menang-kalah. Lagi pula, percuma menang jika itu diraih dengan cara-cara curang.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved