Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
UNTUK apa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ada? Ia dibentuk sebagai lembaga resmi yang mengawasi penyelenggaraan pemilu agar berlangsung sebagaimana mestinya. Posisinya penting, sangat penting, perannya vital, amat vital.
Saking penting dan vitalnya Bawaslu, undang-undang pun memberikan kewenangan besar, sangat besar kepada lembaga ini. Bawaslu, misalnya, berwenang menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu. Bawaslu juga punya kewenangan memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran administrasi pemilu. Pun dengan pelanggaran politik uang.
Dengan kewenangan itu, Bawaslu seharusnya seperti macan dengan gigi-gigi tajam. Ia mutlak garang, pantang ompong, dalam menyikapi setiap dugaan pelanggaran, baik yang dilakukan kontestan maupun koleganya, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Bawaslu dibentuk agar para pihak dalam pemilu patuh pada aturan main, tidak seenaknya main-main. Namun, faktanya, Bawaslu kerap bersikap dan berperilaku sebaliknya. Ia yang seharusnya supertegas, nirkompromi, tak jarang justru melunglaikan diri. Utamanya kepada KPU, beberapa kali Bawaslu tak berdaya menyikapi dugaan ketidakberesan yang ada.
Bawaslu juga hobi melakukan hal-hal normatif. Terkini, mereka mengaku mengirimkan surat kepada KPU perihal karut marut penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Tak cuma sekali, surat itu dilayangkan tiga kali. Intinya, Bawaslu meminta KPU memperbaiki proses rekapitulasi suara dengan titik berat konversi penjumlahannya karena ada perbedaan. Bawaslu menekankan, sebagai alat bantu, Sirekap mesti mencerahkan bukan malah menggelapkan, apalagi memantik kekisruhan.
Memang, Sirekap yang seharusnya mempermudah masalah malah menghadirkan masalah. Banyak ketidakberesan di sana, mencuat pula kecurigaan bahwa di balik ketidakberesan itu ada apa-apanya. Kisruh di Sirekap bahkan dinilai bagian dari desain besar kecurangan pemilu.
Pada konteks itu, Bawaslu benar mempermasalahkan Sirekap. Namun, Bawaslu salah jika sekadar mengirim surat ke KPU. Rakyat tidak butuh surat-suratan antarlembaga, tapi menunggu tindakan nyata untuk membenahi kekeliruan yang ada. Yang lebih dinantikan lagi ialah keberanian Bawaslu menindak kecurangan yang mungkin dilakukan KPU.
Bawaslu dan KPU bukan seperti sejoli berpacaran, yang kalau ada masalah lalu mempertanyakan lewat surat. Bawaslu adalah pengawas pemilu, termasuk pengawas KPU, yang mutlak berlaku tegas ketika ada dugaan penyimpangan.
Bawaslu dibentuk oleh undang-undang bukan sebagai lembaga yang mudah pasrah, gampang cengeng. Sayangnya, dua sifat itu yang beberapa kali dipertontonkan. Sebelumnya, Bawaslu lebih gemar berkoar-koar di media massa betapa mereka kesulitan mendapatkan akses data pemilu dari KPU. Mereka misalnya tak dapat mengakses penuh Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) sehingga tak bisa leluasa mengawasi proses verifikasi.
Begitu pula tatkala KPU melangsungkan tahapan pendaftaran bakal calon anggota legislatif, Bawaslu cuma diberi waktu 15 menit untuk membaca Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Lalu, dalam proses pemutakhiran daftar pemilih, Bawaslu berulang kali protes karena tak memperoleh data secara detail.
Begitulah nasib Bawaslu di mata KPU yang sebenarnya sederajat, setara, sebagai penyelenggara pemilu. Bawaslu ibarat ada tapi tiada, ada tidak menggenapkan, tiada tak mengganjilkan. Celakanya lagi, Bawaslu seolah menikmati ketidakberdayaan itu. Padahal, Bawaslu bisa memberikan sanksi atau setidaknya membuat rekomendasi yang jika tak dijalankan oleh KPU dapat berkonsekuensi hukum pidana penjara. Pun, Bawaslu dapat menyeret KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Bawaslu bukan pajangan. Mereka juga bukan pekerja sukarela, melainkan digaji negara. Bahkan, dua hari sebelum pencoblosan, Presiden Jokowi menaikkan tunjangan kinerja mereka. Kalau kemudian cuma berkeluh kesah, sekadar berkirim surat, dan suka lepas tangan ketika ada dugaan penyelewengan dalam pemilu, buat apa mereka ada?
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved