Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PADA kegiatan apa pun, penyelenggara pasti bertekad agar kegiatan yang ditangani berlangsung sukses dan lancar. Mereka juga menjadi penegak aturan main bila ada silang pendapat atau kegaduhan di antara peserta kegiatan.
Maka, sungguh ironis ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara hajatan lima tahunan pemilu justru kerap menjadi biang kegaduhan. Kegaduhan sebelumnya bukan sekadar gosip atau rumor. Seluruh Komisioner KPU telah mendapat sanksi dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ihwal pendaftaran calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka selepas putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kali ini, kegaduhan kembali terjadi terkait dengan Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap. Pasalnya, terjadi perbedaan hasil penghitungan suara di formulir C1 dengan data yang masuk ke laman KPU melalui aplikasi Sirekap tersebut.
Perbedaan angkanya pun aneh bin ajaib. Contohnya, bisa ada selisih 500 suara antara formulir penghitungan manual dan Sirekap sehingga angka yang mestinya 117 tertulis 617. Ajaibnya lagi, Ketua KPU Hasyim Ay'ari pun mengaku tidak perlu menjawab ketika ditanya anggaran untuk proyek pengadaan Sirekap. Mungkin ia lupa keharusan mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran negara.
Dia memang meminta maaf atas perbedaan itu sembari mengatakan jajarannya hanya manusia biasa, tetapi itu jauh dari kata cukup. Apalagi, diperkirakan terjadi kesalahan input data di 2.325 tempat pemungutan suara (TPS). Apakah memadai atas semua tindakan itu dengan hanya mengatakan 'kami juga manusia biasa'?
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang menegaskan bahwa penghitungan yang sah ialah rekapitulasi manual. Penghitungan berlangsung secara berjenjang mulai Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), panitia pemilihan kecamatan, KPU di kabupaten dan kota yang dilanjutkan ke provinsi, hingga berakhir di KPU pusat.
Namun, demi transparansi, tetap dibutuhkan data pembanding. Namanya data pembanding, maka harus sebanding. Menjadikan Sirekap sebagai data pembanding sejatinya ialah terobosan yang patut dihargai. Namun, saat dalam pelaksanaan terdapat ribuan kekeliruan, jelas tidak bisa dikatakan itu manusiawi. Itu sama saja membuat reputasi Sirekap sebagai data pembanding runtuh.
Perbedaan penghitungan antara manual dan berbasis teknologi informasi (TI) bisa memunculkan perbedaan, perselisihan, pun kegaduhan. Apalagi, penggunaan TI di pemilu bukanlah barang baru. Mestinya, KPU tinggal memperbaiki kekurangan yang ada sebelumnya.
Penggunaan TI dan internet di pemilu telah dimulai sejak 2004. Semangatnya ialah untuk bisa mempercepat pemaparan hasil penghitungan riil pemilu bagi publik. Setelah itu, sejak Pemilu 2009, KPU menerapkan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Pada 2019, KPU mengembangkan aplikasi Situng menjadi Sirekap.
Dua dekade berlalu, ternyata penggunaan TI di pemilu kali ini masih terkendala masalah. Jangan sampai Sirekap yang diposisikan sebagai alat bantu untuk mendokumentasikan hasil pemilu dari tiap TPS justru hanya mendokumentasikan data yang salah. Amat wajar bila banyak yang curiga ada desain besar melakukan kecurangan, termasuk saat meng-input data.
Idealnya, Sirekap dapat memberi informasi akurat secara lebih cepat terkait dengan hasil pemilu mulai tingkat TPS. Namun, Sirekap justru menimbulkan keresahan dan spekulasi yang mengganggu suasana sosial ataupun politik masyarakat pascapemungutan dan penghitungan suara.
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) pun meminta KPU untuk menghentikan proses Sirekap. Apalagi, kesalahan akibat konversi penghitungan suara masih juga terjadi. KPU disarankan sebaiknya cukup memublikasikan hasil pindaian atau foto formulir hasil penghitungan dari tiap TPS.
Pemilu ialah ajang kontestasi dan kompetisi resmi bagi para aktor politik. Di momentum inilah para pemain politik berpeluang merebut atau mempertahankan kekuasaan. Kesalahan sekecil apa pun dari penyelenggara pemilu bisa membuat kegaduhan besar.
Komisioner KPU tidak perlu mencari-cari dan mengadakan pekerjaan lain di luar keahlian karena salah satu tugas dari KPU ialah rekapitulasi suara secara manual. Bukan justru mengadakan proyek di luar tugas dan bidangnya. Lalu, ujung-ujungnya justru melahirkan kebingungan dan perselisihan bagi publik. Akhiri mentalitas seperti ini bila ingin memperbaiki reputasi dan kepercayaan publik.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi.
PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tidak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat.
DI tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, soliditas di antara para punggawa pemerintah sangat dibutuhkan.
DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat.
PANCASILA telah menjadi titik temu semua kekuatan politik di negeri ini.
JATUHNYA korban jiwa akibat longsor tambang galian C Gunung Kuda di Cirebon, Jawa Barat, menjadi bukti nyata masih amburadulnya tata kelola tambang di negeri ini.
PANCASILA lahir mendahului proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Tujuannya untuk memberi landasan langkah bangsa dari mulai hari pertama merdeka.
CITRA lembaga penegak hukum dan pemberantasan korupsi di negeri ini masih belum beranjak dari kategori biasa-biasa saja.
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto soal kemungkinan membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika negara itu mengakui negara Palestina merdeka sangat menarik.
SEMBILAN hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) lagi-lagi membuat geger. Kali ini, mereka menyasar sistem pendidikan yang berlangsung selama ini di Tanah Air.
Para guru besar fakultas kedokteran juga menganggap PPDS university-based tidak diperlukan mengingat saat ini pendidikan spesialis telah berbasis rumah sakit.
BAHASAN tentang perlunya Indonesia punya aturan untuk mendapatkan kembali kekayaan negara yang diambil para koruptor kembali mengemuka.
Sesungguhnya, problem di sektor pajak masih berkutat pada persoalan-persoalan lama.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved