Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
GERAKAN moral sivitas akademika untuk mengingatkan Presiden Joko Widodo agar menegakkan etika dan kembali ke koridor demokrasi bergulir layaknya bola salju. Tercetus dari Universitas Gadjah Mada (UGM), kampus almameter Jokowi sendiri yang berjuluk Kampus Kerakyatan, seruan kepadanya kemudian datang bergelombang dari kampus-kampus seantero Tanah Air.
Ada beberapa peristiwa dan langkah Jokowi yang dinilai telah menyimpang sebagai sikap negarawan serta kepala negara yang mestinya berpijak pada semua golongan dan kepentingan rakyat. Namun, ada dua yang paling menonjol.
Pertama, proses lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan jalan putra sulung Presiden Jokowi maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Kedua, pernyataan Presiden Jokowi bahwa presiden dan menteri boleh berpihak dan boleh juga berkampanye di pemilu.
Gerakan dari kampus-kampus tersebut bukan main-main karena para guru besar juga berada di deretan penyeru, bahkan di barisan terdepan. Mereka bukan sekadar mengkritik, tetapi juga menyodorkan fakta-fakta sikap Jokowi yang mengusik kewarasan berdemokrasi berdasarkan perspektif keilmuan dan nurani pendidik.
Istana lewat Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana lantas bereaksi. Ari menilai ada upaya mengorkestrasi narasi politik untuk kepentingan elektoral. Dikatakannya pula, strategi politik partisan seperti itu sah-sah saja dalam kontestasi politik.
Maka, wajar bila para profesor yang memimpin seruan moral sivitas akademika terhadap Presiden Jokowi merasa tersinggung. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Susi Dwi Harjanti menantang Ari menyodorkan bukti atas klaimnya itu.
Pernyataan Ari memang sangat disayangkan. Malah bisa disebut sebagai pelecehan terhadap para guru besar. Jangan-jangan, dalam pandangan Istana, di balik semua sikap dan kritik kepada Presiden Jokowi ada kepentingan elektoral kubu tertentu. Boleh dibilang itu pengakuan bahwa Jokowi juga mempraktikkan strategi politik partisan.
Peringatan dan kritik yang datang bertubi-tubi mestinya membuat Presiden Jokowi sadar. Seruan moral sivitas akademika bukan sesuatu yang pertama. Sebelum mereka, sudah banyak tokoh bangsa yang menyeru Jokowi agar tidak terus menabrak etika bernegara dan berdemokrasi.
Tiga hari sebelum sivitas akademika UGM menginisiasi petisi peringatan kepada Jokowi, PP Muhammadiyah meminta Presiden Jokowi mencabut pernyataan bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye. Kemudian, di hari yang sama dengan keluarnya pernyataan dari Kampus UGM, sejumlah tokoh yang menamakan diri Gerakan Nurani Bangsa (GNB) mendatangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Di situ, cendekiawan Komaruddin Hidayat mengingatkan bahwa posisi KPU lebih tinggi daripada presiden. Tersirat pesan kepada KPU agar tidak menjadi instrumen untuk memuaskan nafsu penguasa. Sebelumnya lagi, sederet tokoh bangsa juga silih berganti menyampaikan seruan moral kepada Kepala Negara.
Gelombang kritik dari para tokoh hingga kampus sekaligus memperlihatkan betapa pengawasan dari lembaga yang mengemban amanat konstitusi mulai dari DPR hingga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah lumpuh. Masyarakat sipil terpaksa mengambil alih.
Sayangnya, reaksi pihak Istana terhadap gema tobat moral yang diserukan kampus menunjukkan belum ada tanda-tanda Presiden Jokowi menggubris gelombang kritik terhadapnya. Publik masih berharap kali ini Presiden Jokowi segera sadar, alih-alih terus eksis dalam gelembung halusinasi yang memandang semua pengkritik sebagai partisan.
Bagaimanapun juga Jokowi merupakan presiden pilihan rakyat. Selayaknya Presiden Jokowi mengembalikan mandat kepada rakyat di akhir jabatannya dengan moral bernegara yang tegak. Itulah bentuk penghormatan kepada rakyat dari seorang negarawan yang terhormat.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi.
PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tidak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat.
DI tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, soliditas di antara para punggawa pemerintah sangat dibutuhkan.
DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat.
PANCASILA telah menjadi titik temu semua kekuatan politik di negeri ini.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved