Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Cermat dan Ketat Menyaring Capres

25/2/2022 05:00
Cermat dan Ketat Menyaring Capres
(MI/Duta)

 

MAHKAMAH Konstitusi, kemarin, menolak permohonan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan Ferry Joko Yuliantono, Gatot Nurmantyo, dan Fahira Idris sebagai perseorangan warga negara. Inti pasal yang digugat terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Putusan MK tersebut membawa kita pada konsekuensi awal bahwa tidak sembarang orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau bahkan tidak semua partai politik dapat mengusung calon presiden (capres). Hanya parpol atau gabungan parpol yang meraup suara signifikan yang dapat mencalonkan presiden.

Positifnya, tidak akan terjadi obral capres pada Pemilu 2024. Dengan begitu, kita bisa berharap, yang akan maju dan dicalonkan menjadi presiden nanti benar-benar sosok yang punya kualitas, kapabilitas, dan integritas. Secara logika awam, kalau sosoknya tidak memenuhi tiga kualifikasi tersebut, masak iya ada parpol yang mau mendukung dan mengusung?

Karena itu, bola kini ada di tangan parpol. Untuk menyiapkan calon pemimpin negeri pada 2024, sedari sekarang semestinya parpol sudah mengkreasinya melalui seleksi superketat. Sungguh naif mimpi bangsa ini punya presiden yang berkualitas dan tangguh dalam memerintah kalau proses pencarian, penjaringan, dan pemilihan sosoknya justru dilakukan di saat-saat akhir.

Karena yang boleh mengusung capres hanya parpol atau gabungan parpol, artinya merekalah yang punya kewajiban menyaring dari sejumlah nama yang potensial. Tentu saja dengan sistem dan model penyaringan yang benar. Bukan dengan saringan abal-abal, yang ujungnya hanya menegasikan kemampuan dan rekam jejak si calon serta meminggirkan suara publik.

Dalam konteks demikian, pernyataan Partai NasDem yang saat ini sedang memantau sejumlah kandidat capres sangatlah menarik. NasDem menyebut ada empat gubernur dan satu menteri yang tengah mereka gali lebih dalam, baik dari sisi kualitas maupun elektabilitas.

Menarik bukan hanya dari sisi nama-nama tenar yang masuk radar pantauan tersebut. Itu menarik karena akan menjadi contoh yang bagus bagaimana parpol menjalankan fungsi demokrasi mereka dalam konteks pencalonan presiden secara cermat, terukur, dan transparan.

Bagi parpol, bertindak terukur dan transparan itu penting karena ujung dari semua proses penyaringan calon presiden itu ialah demi kepentingan publik. Calon pilihan parpol pada akhirnya akan disodorkan kepada publik sebagai pemilik suara dalam pemilu. Layakkah bila parpol menyodorkan calon yang publik tidak tahu rekam jejaknya atau calon yang dipaksakan hanya karena dia petinggi parpol, misalnya?

Keberanian Partai NasDem yang mengafirmasi tengah memantau lima calon potensial, sekaligus menjanjikan akan menggunakan kecermatan dan pertimbangan yang sangat ketat sebelum memutuskan calon yang bakal diusung, sepatutnya kita hormati sebagai langkah untuk mencegah tampilnya pemimpin abal-abal atau pemimpin oplosan.

Pemimpin abal-abal biasanya akan muncul karena ketiadaan seleksi. Sementara itu, pemimpin oplosan eksis karena mampu 'membeli' partai untuk mencalonkan dirinya. Dua hal yang dapat menghancurkan masa depan bangsa itu akan pupus ketika semua parpol tekun menjadikan komitmen kepada kepentingan publik sebagai pertimbangan utama dalam proses pencalonan presiden.

Dalam sistem demokrasi yang sehat, pemilu semestinya memberikan ruang kepada rakyat untuk memilih yang paling baik di antara sekumpulan calon terbaik. Jangan menjebak rakyat dengan mengharuskan mereka memilih yang paling tidak buruk dari sederet calon yang buruk.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik