Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Kekayaan Alam untuk Rakyat

05/1/2022 05:00
Kekayaan Alam untuk Rakyat
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

 

KRISIS energi yang menjangkiti sejumlah negara mencuatkan kekhawatiran krisis akan semakin meluas. Tiongkok sudah beberapa kali mengalami pemadaman listrik secara luas di sejumlah provinsinya akibat kekurangan pasokan batu bara dan gas alam.

Belakangan, krisis energi di Eropa pun semakin nyata dengan meningkatnya permintaan di tengah musim dingin. Kebutuhan energi yang tinggi diperkirakan masih berlanjut seiring bergairahnya perekonomian menyusul terkendalinya wabah covid-19. Apalagi, WHO cukup optimistis pandemi covid-19 bakal usai tahun ini.

Harga sumber-sumber daya energi di pasar global terus merangkak naik. Dengan semakin tingginya harga, daya tarik untuk mengekspor sumber energi kian besar. Pemerintah Indonesia pun terpaksa mengambil langkah drastis, melarang ekspor batu bara.

Larangan yang berlaku sepanjang bulan ini tersebut bisa dimaklumi karena pemerintah tidak ingin mengambil risiko. Ketergantungan yang tinggi terhadap batu bara untuk memproduksi listrik dalam negeri menyisakan sedikit pilihan. Saat ini, tidak kurang dari 61% pasokan energi listrik nasional bersumber dari batu bara.

Tentu saja larangan ekspor tidak bisa dilakukan terus-menerus. Pemerintah perlu bergerak cepat melakukan evaluasi kebijakan domestic market obligation (DMO) agar lebih selaras dengan besaran kebutuhan dalam negeri dan benar-benar dipatuhi seluruh perusahaan pertambangan.

Bukan hanya batu bara yang mendapat perhatian. Sumber energi lain, seperti gas alam dan minyak sawit, juga tidak bisa dibukakan keran ekspor sebesar-besarnya.

Minyak sawit yang menjadi sumber energi sekaligus bahan pangan turut menjadi rebutan di pasar global. Tak pelak, hal itu mendorong harga minyak sawit naik. Di dalam negeri, pasokan minyak sawit untuk pangan juga masih harus berbagi dengan produksi bahan bakar minyak.

Dampaknya, sudah berbulan-bulan masyarakat harus menanggung beban mahalnya harga minyak goreng dan produk turunannya yang melonjak hingga dua kali lipat.

Presiden telah menginstruksikan seluruh perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan perkebunan, baik BUMN beserta seluruh anak usaha maupun swasta, untuk mengutamakan kepentingan dalam negeri. Akan tetapi, instruksi saja belum cukup.

Perintah yang didasarkan pada amanat Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 itu masih harus dituangkan dalam bentuk kebijakan serupa DMO. Berbeda dengan batu bara dan gas alam, kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik belum berlaku untuk minyak sawit.

Hal yang perlu digarisbawahi, keamanan pasokan dalam negeri bukan hanya terkait dengan ketersediaan stok, tetapi juga keterjangkauan harga. Stabilisasi harga jangan sampai dimaknai dengan sekadar menahan harga agar tidak semakin naik, padahal harga yang diterima masyarakat saat ini sudah mahal.

Sungguh sebuah ironi ketika masyarakat harus membayar harga yang sama dengan konsumen pasar global ketika produk yang bersangkutan sepenuhnya diproduksi di dalam negeri. Untuk memecahkan ironi itu, selain kebijakan DMO, ketika harga melonjak, pemerintah bisa saja menggunakan instrumen pungutan ekspor. Kemudian, memakainya untuk menyubsidi harga di dalam negeri.

Banyak jalan kebijakan yang bisa ditempuh demi memanfaatkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tinggal pemerintah bersedia atau tidak.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik