Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak

11/12/2021 05:00
Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

TAHUN ini boleh dibilang sebagai masa yang kelam buat anak-anak. Kasus kekerasan seksual terhadap mereka begitu marak dengan korban yang menjadi mangsa para predator seks semakin banyak.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak pun menjadi berita nan memilukan sekaligus membuat kita geram akhir-akhir ini. Di Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, Herry Wirawan yang memimpin sebuah pondok pesantren mencabuli 12 santriwati. Akibat kebejatan terdakwa, sampai lahir sembilan bayi dari para korban.

Kasus serupa terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat, seorang pengasuh pesantren memerkosa sejumlah santriwati berusia 15 sampai 17 tahun berulang kali. Lalu di Cilacap, Jawa Tengah, seorang guru pelajaran agama diduga merudapaksa 15 anak di bawah umur.

Kasus-kasus tersebut menambah panjang daftar perkara kekerasan seksual terhadap anak. Kota Tegal, Jawa Tengah, bahkan dalam situasi darurat lantaran melonjaknya kasus yang terjadi. Di Kota Padang, Sumatra Barat, kasus serupa juga melejit hingga hampir 100% tahun ini. Aparat telah menerima 82 laporan.

Pemerkosaan adalah kejahatan paling primitif yang masih diwarisi oleh generasi masa kini. Dalam beberapa jenis kejahatan lain, pelaku bisa saja lalai sehingga berbuat jahat. Namun, dalam pemerkosaan selalu ada manifestasi kesengajaan sebagai derajat paling rendah dari mens rea atau niat dari pelakunya.

Pemerkosaan adalah kejahatan yang amat sulit termaafkan, apalagi kalau sasarannya anak-anak. Terlebih jika sang pelaku adalah seorang guru. Terlebih lagi jika sang guru adalah pendidik di sekolah keagamaan.

Sebagai guru, mereka semestinya mengajarkan hal-hal yang baik dan menjadi teladan moral, bukan malah menjadikan murid sebagai korban perilaku buruknya. Mereka sejatinya penjahat seks berkedok guru. Mereka adalah sejahat-jahatnya orang.

Oleh karena itu, mereka harus dihukum maksimal, tidak boleh setengah-setengah, apalagi minimal. UU tentang Perlindungan Anak menggariskan ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dengan denda paling banyak Rp5 miliar. Tak perlu didebat, hukuman penjara 15 tahunlah yang paling pas buat mereka. Tak ada yang bisa meringankan kendati mereka meminta maaf sampai mulut berbusa.

Hukuman penjara saja juga tak cukup. Penjahat seksual, apalagi terhadap anak, ada kecenderungan mengulang perbuatannya jika ada kesempatan. Karena itu, agar tak berjatuhan korban-korban baru, hukuman kebiri mesti pula ditimpakan.

Kebiri sudah diatur dalam hukum positif. Tata cara pelaksanaannya pun sudah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 yang berlaku mulai 7 Desember 2020. Aturan dibuat bukan untuk sekadar pajangan. Karena itu, laksanakan hukum kebiri kimia kepada para penjahat seks terhadap anak.

Lebih dari itu, maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak mengonfirmasi akan pentingnya akselerasi penyelesaian RUU Tidak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kita sedikit lega, RUU TPKS yang jalan di tempat sejak 2016 akhirnya beringsut maju dengan kesepakatan Badan Legislasi DPR membawanya ke rapat paripurna dewan untuk disahkan menjadi RUU inisiatif DPR.

Kita mendesak pemerintah dan DPR agar tidak lagi berlambat-lambat ria untuk secepatnya menuntaskan UU TPKS. Undang-undang ini penting, sangat penting, sebagai senjata yang lebih ampuh untuk memerangi kekerasan seksual, termasuk terhadap anak.

Kekerasan seksual, apalagi terhadap anak, bukanlah kejahatan kaleng-kaleng. Ia kejahatan serius yang menimbulkan dampak sangat serius bagi korban, tak hanya saat ini, tapi juga masa depan. Karena itu, ia mesti diperangi dengan superserius.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik