Merawat Kedermawanan

07/12/2021 05:00
Merawat Kedermawanan
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

 

ERUPSI Semeru kembali mengingatkan kita untuk peduli kepada saudara sebangsa yang tertimpa oleh musibah. Kedermawanan memang sudah menjadi sifat yang menonjol pada masyarakat Indonesia. Itu sebabnya, beberapa kali masyarakat Indonesia dinobatkan sebagai yang paling dermawan di dunia.

Namun, situasi saat ini agak berbeda. Masyarakat kita masih terimpit oleh dampak pandemi berkepanjangan. Pemerintah daerah pun harus memutar otak meringankan beban warga sekaligus menjaga kegiatan perekonomian dan pembangunan tetap berjalan.

Hebatnya, solidaritas sosial ternyata tidak menyurut. Begitu beredar kabar Gunung Semeru yang terletak di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, meletus, bantuan spontan mengalir dari berbagai kalangan. Masyarakat biasa, baik perorangan maupun kelompok, badan usaha, hingga pemerintah provinsi lain bergerak membantu.

Ini menunjukkan kedermawanan sudah benar-benar menjadi watak masyarakat kita. Budaya gotong royong masih terpelihara meski intensitasnya menurun, terutama di kota-kota besar. Ketika terjadi bencana besar di mana pun di Tanah Air, bangsa Indonesia bersatu mengulurkan tangan kepada para korban.

Hal yang masih menjadi persoalan ialah koordinasi dan kecepatan penyaluran bantuan hingga sampai sasaran secara tepat. Kita sering mendengar para wakil rakyat dan pejabat begitu sigap meninjau lokasi bencana. Di saat yang sama, para korban mengeluh belum mendapatkan bantuan meski lingkungan mereka telah dikunjungi.

Bukan hanya penyaluran bantuan, kecepatan kerja pemulihan korban dari dampak bencana memprihatinkan. Saat serangkaian gempa dahsyat mengguncang Nusa Tenggara Barat pada Juli-Agustus 2018, tidak kurang dari 564 jiwa tewas. Lebih dari 200 ribu rumah penduduk hancur hingga membuat hampir setengah juta warga kehilangan tempat tinggal.

Bantuan dan anggaran rekonstruksi pun dialokasikan. Pembangunan rumah untuk para korban dimulai pada September 2018 dengan jumlah anggaran yang mencukupi. Akan tetapi, apa yang terjadi? Pembangunan begitu lamban. Sampai tahun ini pun, rekonstruksi belasan ribu rumah masih berlangsung.

Hal serupa juga terjadi pascagempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada Oktober di tahun yang sama. Korban jiwa lebih dari 2.000 jiwa. Puluhan ribu rumah warga juga luluh lantak.

Proses rekonstruksi hunian tetap bagi warga yang menjadi korban hingga kini belum tuntas. Padahal, selain dari dalam negeri, bantuan dana turut mengalir dari negara-negara lain dan komunitas internasional.

Belum lagi masalah ketidaktransparanan penggunaan anggaran proyek rekonstruksi. Itu tentu saja bisa mengundang kecurigaan bahwa ada praktik korupsi di situ.

Sudah menjadi fakta yang kerap dikemukakan KPK bahwa sektor pengadaan barang dan jasa sarat celah rasywah. Berdasarkan catatan KPK hampir 80% kasus korupsi terjadi dalam proses pengadaan di pemerintahan.

Masyarakat sudah begitu antusias memberikan sumbangan baik dalam bentuk barang, jasa, maupun uang setiap kali terjadi bencana.

Alangkah baiknya, dan memang sudah semestinya, diikuti pula dengan kesigapan pemerintah dalam mengoordinasikan bantuan serta bergerak cepat menuntaskan pemulihan pascabencana.

Perbaikan tata kelola di pemerintahan tidak hanya diperlukan pada mitigasi bencana, tetapi juga pemulihan pascabencana. Kedermawanan mesti terus dirawat. Jangan sampai watak mulia bangsa justru menjadi tergerus oleh lunturnya kepercayaan kepada pemerintah.



Berita Lainnya