Bukan Ban Serep Kaum Tua

29/10/2021 05:00
Bukan Ban Serep Kaum Tua
(MI/Seno)

 

 

SUMPAH Pemuda atau ikrar yang digaungkan muda-mudi, 93 tahun lalu, sejatinya ialah fakta pengakuan bahwa bangsa ini dibangun dari batu-batu perbedaan yang dapat direkatkan dalam satu fondasi yang utuh. Ketika itu, perbedaan suku, perbedaan etnik, perbedaan agama tidak dipandang sebagai persoalan, tapi justru menjadi kapital untuk menggelorakan persatuan di atas dasar keberagaman.

Hampir seabad kemudian, di zaman yang katanya kekinian dan disebut eranya kaum milenial, spirit Sumpah Pemuda itu masih tetap relevan. Bahkan semestinya semakin menguat. Ruh Sumpah Pemuda seharusnya masih menyala, tidak lagi untuk menciptakan persatuan, tetapi untuk merawat persatuan. Pemuda tetap diharapkan menjadi tulang punggung utama negara, bukan sekadar ban serep menunggu ausnya kiprah kaum tua.

Namun, fakta hari ini kerap membuat kita prihatin. Di satu bagian, betul bahwa makin banyak anak muda di negeri ini yang tangguh, cerdas, berprestasi, serta punya kualitas dan integritas yang tinggi. Sebagian dari mereka juga mampu tampil menjadi pemimpin dengan kinerja yang baik. Bukti bahwa pemuda ialah pendobrak sekaligus pembeda yang sangat mungkin akan membawa Republik ini merengkuh cita-cita kejayaan.

Akan tetapi, fragmen lain memperlihatkan banyak pula kaum muda yang malah terperangkap dalam arus yang melenceng dari semangat Sumpah Pemuda. Alih-alih memperjuangkan persatuan, mereka asyik membesar-besarkan perbedaan, gemar mengagungkan keidentitasan sempit, dan mengingkari keberagaman. Sesuatu yang dahulu oleh para pendiri bangsa dijadikan sebagai modal dalam mendirikan Indonesia, kini justru berpotensi 'dipakai' untuk memecah belah bangsa.

Ini bertalian pula dengan kian keringnya makna peringatan Sumpah Pemuda dari tahun ke tahun. Peringatan hanya sekadar seremoni atau hanya diartikan sebagai waktu untuk melempar ucapan selamat, jargon, orasi tentang pentingnya peran pemuda dalam konteks kebangsaan, tapi sesungguhnya miskin arti. Narasi-narasi klise yang membuai di setiap Hari Sumpah Pemuda malah membuat kaum muda seperti makin nyenyak tertidur.

Solusinya, yang tertidur harus cepat dibangunkan. Yang sudah bangkit mesti segera didukung agar mampu berjalan dan berlari lebih cepat. Pekerjaan rumah (PR) pemuda masih banyak. Sekali lagi, kaum muda bukan ban serep kaum yang sudah menua. Karena itu, mereka harus mengambil banyak peran dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa.

Yang pertama tentu dalam hal pemberantasan korupsi. Ini persoalan kronis yang terbukti tidak mampu dibendung oleh orang-orang tua. Pemuda harus tampil untuk mengobrak-abrik sistem kenegaraan yang bobrok karena korupsi. Jangan sampai sebaliknya, malah meniru senior-senior mereka yang lebih dulu mahir berbuat korup.

Kedua, pemuda semestinya ada di barisan paling depan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup rakyat. Dengan tingkat intelektualitas dan teknologi yang semakin tinggi, kelompok muda tentu lebih tahu bagaimana strategi yang harus dilakukan negara agar tidak ada lagi yang masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan.

Yang ketiga di sektor pendidikan, kaum muda punya tugas berat memperbaiki kualitas anak bangsa. Tak sekadar memeratakan kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak untuk seluruh lapisan masyarakat, harus pula digenjot agar sebanyak orang Indonesia dapat mengenyam pendidikan tinggi.

Seperti itulah semestinya kita memaknai peringatan Sumpah Pemuda dalam konteks kekinian. Sambil mengingatkan generasi muda agar tak gampang terhasut hoaks dan terjerumus sekat-sekat perbedaan yang kian mengentalkan polarisasi, kita pun wajib mendorong mereka mengambil peran lebih besar dalam menyelesaikan persoalan negara.



Berita Lainnya