Arogansi Badan Publik

27/10/2021 05:00
Arogansi Badan Publik
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

 

ADA yang menarik dari ajang penganugerahan keterbukaan informasi yang digelar Komisi Informasi Pusat (KIP), kemarin. Di antara empat kementerian koordinator, tiga kemenko yang meliputi Kemenko Bidang Perekonomian, Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, serta Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, mendapat kualifikasi badan publik yang informatif.

Hanya satu yang tidak lolos kualifikasi penghargaan tertinggi dalam keterbukaan informasi badan publik tersebut, yakni Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Di saat yang hampir bersamaan, kebetulan, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin tengah dihujani kritik tentang merosotnya demokrasi dan ketidakadilan dalam penegakan hukum.

Menurut evaluasi KIP, dua dari enam kementerian di bawah koordinasi bidang polhukam, yaitu Kementerian Pertahanan serta Kementerian Hukum dan HAM, tidak lolos kualifikasi badan publik informatif. Empat yang lolos meliputi Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Secara umum, berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi KIP, jumlah badan publik yang memenuhi kualifikasi informatif sebanyak 83, naik jika dibandingkan dengan tahun lalu yang baru 60. Adapun jumlah badan publik yang dievaluasi tahun ini sebanyak 337.

 

Meski terlihat ada perbaikan, hasil evaluasi keterbukaan informasi menunjukkan saat ini pun baru satu dari empat badan publik yang tergolong informatif. Kondisi itu cukup mengecewakan mengingat keterbukaan informasi publik telah diamanatkan sejak lebih dari satu dekade lalu.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengatur bahwa setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap pemohon informasi publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.

Undang-undang itu bertujuan menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Melalui keterbukaan informasi, masyarakat didorong untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan kebijakan publik.

Akan tetapi, masih banyak pihak institusi pemerintahan yang bersembunyi di balik frasa 'isu sensitif', 'rahasia negara', atau 'belum ada persetujuan atasan'. Badan-badan publik semacam itu dengan arogan menghalangi hak warga negara untuk tahu.

Ketertutupan badan publik yang antara lain tampak dengan penggunaan pola komunikasi satu arah bisa menandakan banyak hal. Yang paling menonjol ialah ketidakbecusan dalam mengelola informasi publik. Sikap tertutup juga mengindikasikan gelagat menyembunyikan sesuatu yang belum tentu merupakan rahasia negara.

Mereka seperti tidak menyadari bahwa mental tertutup berkontribusi besar dalam menimbulkan ketidakpercayaan publik. Jika badan publik yang bersangkutan merupakan institusi pemerintahan, jangan heran bila arogansi satu institusi saja bisa menggerus kepercayaan rakyat kepada pemerintah.

Ketertutupan juga dapat menjadi katalis kesimpangsiuran informasi yang memicu kebingungan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kemampuan mengelola informasi publik agar tidak terlambat tersedia di hadapan publik wajib dimiliki badan publik.

Pemimpin badan publik tidak perlu mencari-cari alasan mangkir dari amanat undang-undang. Kalau tidak mampu, mundur saja.



Berita Lainnya