Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Menimbang Solusi Bekas Pegawai KPK

06/10/2021 00:05
Menimbang Solusi Bekas Pegawai KPK
Ilustrasi MI(MI/Seno)

 

 

SECERCAH harapan muncul bagi 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah resmi diberhentikan dengan hormat karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN). Mereka berkesempatan mengabdi sebagai ASN di Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Tawaran itu datang sepekan silam, langsung dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kapolri bahkan menyebut rencana rekrutmen itu sudah mendapatkan restu dari Presiden Joko Widodo.

Para eks pegawai KPK tersebut dinilai memiliki kemampuan yang cocok untuk kerja Polri sehingga bisa langsung diangkat menjadi ASN Polri. Apalagi, banyak di antara mereka yang punya pengalaman bertahun-tahun di KPK.

Rencana Kapolri tampak seperti win-win solution atas nasib pegawai KPK yang tidak terangkut gerbong ASN KPK. Akan tetapi, benarkah begitu?

Mari kita telaah dari sisi aturan. Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menyebutkan pengadaan PNS dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS.

Kemudian, menurut Pasal 62 ayat (1), penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan oleh jabatan.

Dari sudut pandang regulasi, keinginan Kapolri untuk langsung mengangkat para eks pegawai KPK menjadi ASN Polri rawan melanggar undang-undang. Pengalaman dan kompetensi yang dianggap sudah mumpuni tidak bisa menjadi dasar meloloskan mereka sebab anggapan bukan merupakan penilaian objektif.

Pasal 62 ayat (2) UU ASN lantas mengatur penyelenggaraan seleksi terdiri atas seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang. Itu amanat undang-undang.

Oleh karena aturan itu pula, ratusan ribu guru honorer tidak bisa mendapatkan status ASN ketika gagal lolos seleksi. Tidak peduli mereka sudah mengajar selama belasan bahkan puluhan tahun.

Pengabdian di daerah terpencil yang sarat dengan fasilitas minim dan tingkat kesulitan berlipat juga tidak membantu untuk langsung diangkat menjadi ASN. Mereka tetap harus mengikuti proses seleksi dengan tes.

Persoalan lain yang berpotensi mengganjal ialah timbulnya standar ganda dalam perekrutan ASN. KPK mengadakan tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status pegawai menjadi ASN.

TWK tersebut sempat disebut mengada-ada demi mengganjal pegawai-pegawai yang tidak disukai pimpinan KPK. Namun, keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak gugatan atas aturan tersebut membuktikan legitimasi TWK.

Kini, Polri hendak mengangkat para pegawai KPK yang gagal lolos TWK menjadi ASN. Lantas muncul pertanyaan apakah institusi Polri memiliki standar yang berbeda dengan KPK tentang wawasan kebangsaan personel?

Upaya merekrut ke-57 mantan pegawai KPK memang patut dilakukan. Tidak bisa dimungkiri setidaknya sebagian dari mereka memiliki kemampuan sangat mumpuni dalam mendukung kerja memberantas korupsi. Beberapa dari mereka menjadi bagian dari tim yang menguak kasus-kasus besar KPK.

Hanya, perlu pertimbangan masak-masak dalam menentukan langkah solusi. Barangkali akan lebih tepat bila menyalurkan eks pegawai KPK menjadi tenaga non-ASN di institusi pemerintahan. Misalnya, untuk mengisi posisi staf khusus dan tim kelompok kerja di Kompolnas.

Ke depan, Polri atau malah KPK sendiri bisa pula menggelar proses seleksi ASN yang memberikan kesempatan pertama bagi 57 eks pegawai KPK. Siapa tahu, wawasan kebangsaan mereka sudah meningkat.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik