Laporan PPATK Dipetieskan

01/10/2021 05:00
Laporan PPATK Dipetieskan
(MI/Duta)

 

 

KORUPSI sejatinya punya banyak pintu masuk. Di setiap pintu, idealnya ada penjaga. Dia yang akan membunyikan lonceng alarm jika terdapat indikasi-indikasi yang mengarah ke korupsi. Kemudian meneruskannya ke penegak hukum untuk memastikan apakah betul indikator itu merupakan bibit korupsi atau tidak.

Salah satu pintu masuk korupsi yang kita kenal ialah melalui transaksi keuangan. Penjaga pintunya ialah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Mereka yang memonitor dan menghimpun temuan terkait rekening gendut pejabat, transaksi keuangan mencurigakan, tindak pencucian uang, dan macam-macam modus lain yang sebagian sangat mungkin merupakan sumber atau ekstensi dari praktik korupsi.

Penjaganya sudah bagus, tetapi yang masih menjadi persoalan saat ini ialah adanya sumbatan aliran antara temuan dan tidak lanjut dari pelaporan atas temuan itu. Ibarat jembatan yang punya banyak lubang, banyak laporan dari temuan itu yang lolos dan tidak ditindaklanjuti penegak hukum. Celakanya, kadang-kadang laporan yang tak tersentuh itu jumlahnya lebih banyak ketimbang yang disentuh.

Data terbaru PPATK yang disampaikan saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Rabu (29/9), mengonfirmasi hal tersebut. Disebutkan bahwa selama periode 2016 hingga September 2021, PPATK telah menyerahkan 2.606 laporan hasil analisis (LHA) dan 240 laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang diindikasikan mencurigakan dan berpotensi merugikan negara kepada aparat penegak hukum.

Akan tetapi, dari laporan sebanyak itu, tidak sampai 30% yang ditindaklanjuti. Sisanya mungkin belum dibaca, mungkin dianggap tidak kuat untuk diteruskan, mungkin ada pesanan agar temuan itu dipetieskan, atau barangkali penegak hukum kehabisan sumber daya dan anggaran untuk menindaklanjutinya. Entahlah. Laporan PPATK tidak menerangkannya secara detail.

Gap yang teramat jauh antara laporan yang diserahkan kepada aparat penegak hukum dan tindak lanjutnya semestinya tak boleh dibiarkan terjadi. Jangan lupa, ada potensi kerugian negara yang timbul dari dugaan tindak pidana terkait ekonomi tersebut. Pun ada ketersambungan yang erat antara tidak pidana terkait ekonomi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Karena itu, pengungkapan perkara dan penegakan hukum atas keduanya seharusnya dilakukan secara paralel agar dapat mengungkap seluruh hasil kejahatan yang dilakukan seseorang. Apalagi, prinsip penyelidikan keduanya pada dasarnya sama, yakni ikuti aliran uangnya (follow the money), bukan mengejar orangnya.

Ini artinya, persepsi antarlembaga negara harus disamakan. Koordinasi pun mesti dikuatkan. Jika ada laporan terkait transaksi mencurigakan dari PPATK ke lembaga penegak hukum (kepolisian/kejaksaan) mampat, misalnya, saat itu juga mesti ada sokongan dari lembaga lain, seperti DPR. Tidak boleh masing-masing dibiarkan jalan sendiri tanpa dukungan.

DPR bisa memberikan dukungan pada bidang legislasi. Sudah saatnya Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Uang Kartal masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2022.

Pada akhirnya harus ada titik kesepakatan di antara lembaga-lembaga negara dengan paradigma berpikir yang baru demi mengencangkan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ekonomi secara keseluruhan. Memang, ini tak sepenuhnya akan mampu memberangus praktik korupsi yang di Republik ini sudah menjadi masalah endemik dan sistemis.

Akan tetapi, jika pemahaman berpikir tentang tidak pidana ekonomi sudah sama, koordinasi antarinstitusi bisa dilakukan, sinergi dijalankan, kerja sama terus dikuatkan, setidaknya satu pintu masuk terjadinya korupsi sudah berhasil kita tutup. Jika itu terjadi, tidak ada lagi laporan PPATK yang dipetieskan.



Berita Lainnya