Polisi Humanis tanpa Represif

17/9/2021 05:00
Polisi Humanis tanpa Represif
(MI/Seno)

 

 

MENYAMPAIKAN pendapat di muka umum, apa pun bentuknya, merupakan salah satu hak asasi menusia yang dijamin konstitusi. Semua upaya membungkamkan aspirasi rakyat harus dihentikan sehingga tidak memunculkan kesan represif.

Kesan represif muncul dari tindakan kepolisian pada saat kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke daerah. Contohnya saat Presiden berkunjung ke Blitar, Jawa Timur, pada 7 September. Ketika itu, Suroto, peternak ayam petelur, membentangkan poster di tengah jalan. Suroto sempat ditangkap polisi, tapi pada 15 September, ia malah diundang bertemu Presiden di Jakarta.

Terang benderang sudah bahwa pembungkaman aspirasi rakyat disertai penangkapan itu bukanlah kehendak Presiden. Jokowi malah mengaku tidak tahu-menahu perihal penangkapan warga.

Alih-alih marah, Presiden justru berterima kasih atas aksi Suroto yang membentangkan poster bertuliskan ‘Pak Jokowi bantu peternak beli jagung dengan harga wajar’. Sebab, tanpa poster Suroto, Jokowi mengaku tak mengetahui kondisi peternak yang ada di lapangan.

Jokowi telah menunjukkan teladan bahwa kritik tersebut harus disikapi sebagai bentuk aspirasi rakyat yang patut didengar, bukan diberangus. Perihal mural yang bernada kritik, Presiden juga berulang kali meminta aparat tidak reaktif apalagi mengejar senimannya ataupun menghapusnya.

Peristiwa penangkapan warga dan penghapusan mural ialah inisiatif berlebihan kepolisian di tingkat bawah. Karena itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan instruksi kepada jajarannya terkait penyampaian pendapat masyarakat ketika Presiden berkunjung ke daerah. Kapolri meminta anak buahnya bersikap humanis saat ada warga yang menyampaikan aspirasi.

Poin utama instruksi Kapolri tertanggal 15 September itu ialah setiap pengamanan kunjungan kerja Presiden agar dilakukan secara humanis dan tidak terlalu reaktif. Bahkan, Kapolri secara khusus menginstruksikan agar kepolisian menyiapkan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya sehingga dapat dikelola dengan baik, bukan malah dibungkam.

Tanpa instruksi Kapolri sekalipun, sudah sepatutnya kepolisian menangani aspirasi masyarakat sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Penyampaian pendapat itu bisa berbentuk unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas.

Kepolisian, menurut undang-undang itu, bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum, menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum.

Perlindungan diberikan kepolisian karena sesungguhnya kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Instruksi Kapolri yang meminta anak buahnya bersikap humanis dan tidak terlalu reaktif jangan sebatas teks. Paling penting ialah memastikan instruksi itu dilaksanakan semestinya di lapangan. Jangan sampai lain yang diinstruksikan lain pula penerapannya di lapangan.

Pesan-pesan demokrasi serta nilai-nilai pemajuan HAM di Tanah Air perlu terus digaungkan, terutama kepada aparat keamanan di tataran bawah yang bersentuhan langsung langsung dengan masyarakat. Jangan ada lagi aparat yang mempertontonkan sikap-sikap arogansi ketika berhadapan dengan warga.

Aparat harus paham bahwa dalam melaksanakan tugas pantang merampas kebebasan berpendapat warga negara. Pengetahuan aparat ini tidak hanya sekadar pasal-pasal hukum dan instruksi atasan, tetapi juga bagaimana menempatkannya dalam konteks demokratisasi dan penghormatan atas HAM.

Aparat mesti paham bahwa mengkritik pemerintah sejatinya sehat untuk demokrasi asalkan sesuai fakta dan kondisi lapangan sesungguhnya. Tentu ketika berhadapan dengan fitnah dan hoaks aparat harus bertindak tegas, tanpa toleransi. Paling penting lagi, sikap humanis kepolisian bisa meredam kontroversi represif kunjungan Presiden ke daerah.



Berita Lainnya