Pengembalian Adelin Lis Pertaruhkan Wibawa Negara

19/6/2021 05:00
Pengembalian Adelin Lis Pertaruhkan Wibawa Negara
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

HUBUNGAN antara Indonesia dan Singapura pada dasarnya berjalan baik selama ini, kecuali terkait pemulangan koruptor. Pemulangan koruptor yang kabur ke negeri itu menemui banyak rintangan.

Kendala utamanya ialah perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura belum aktif. Sudah 14 tahun perjanjian ekstradisi itu diteken, tapi tak kunjung aktif hingga kini. Tidak aktif karena belum diratifikasi parlemen. Padahal, dengan perjanjian itu, kedua pemerintahan terikat kesepakatan untuk mengembalikan ke negara masing-masing siapa pun yang terlibat tindak pidana.

Meski perjanjian ekstradisi belum aktif, Singapura bukanlah negara jauh. Ia tetangga dekat yang dalam banyak hal juga bergantung pada Indonesia. Karena itu, hubungan baik kedua negara mestinya memudahkan pengembalian koruptor dari Singapura ke Indonesia, begitu sebaliknya.

Fakta bicara lain. Pengembalian buron Adelin Lis tidak semudah yang diinginkan Jakarta. Adelin ditangkap otoritas Singapura pada 2018 setelah imigrasi negara itu menemukan data yang bersangkutan menggunakan nama Hendro Leonardi.

Adelin mengaku bersalah dalam persidangan di Singapura. Atas dasar itu, Pengadilan Singapura pada 9 Juni menjatuhi hukuman denda S$14.000, mengembalikan paspor atas nama Hendro Leonardi ke pemerintah Indonesia, dan mendeportasi Adelin Lis ke Indonesia.

Proses pengembalian Adelin ke Indonesia ternyata rumit. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin meminta Adelin diterbangkan dari Singapura langsung Jakarta. Akan tetapi, otoritas Singapura menolak memulangkan Adelin menggunakan pesawat sewaan yang rencananya akan dipakai tim penjemput dari Kejaksaan Agung. Pemulangan Adelin mempertaruhkan wibawa negara ini.

Indonesia harus terus-menerus berkomunikasi dengan Singapura agar buronan selama 13 tahun itu dipulangkan sesuai keinginan Jakarta. Patut diapresiasi kegigihan Kedutaan Besar Indonesia di Singapura yang masih menahan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) Adelin. Akibatnya, Adelin batal terbang ke Medan, kemarin.

Kekuatan diplomasi Indonesia sangat menentukan kepulangan Adelin. Apalagi, saat ini yang bersangkutan di bawah pengawasan otoritas keimigrasian Singapura. Bukan di bawah pengawasan Indonesia. Kita percaya bahwa Singapura tidak mau dicap sebagai negara surganya koruptor, sehingga Adelin benar-benar diawasi dan dipulangkan ke Jakarta secepatnya.

Adelin harus secepatnya dibawa ke Jakarta untuk menjalani hukuman. Sebab, Mahkamah Agung pada 31 Juli 2008 menghukum Adelin selama 10 tahun penjara serta membayar uang pengganti Rp119,8 miliar dan dana reboisasi US$2,938 juta. Kejaksaan kesulitan mengeksekusi terdakwa kasus pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara, itu karena tidak diketahui keberadaannya selama ini.

Kasus Adelin sekaligus menggambarkan wajah buram hukum negeri ini. Ia ditangkap di Beijing, Tiongkok, pada 2006. Akan tetapi, Pengadilan Negeri Medan pada 2007 membebaskan terdakwa pembalakan liar tersebut. Sejak itu, Adelin tidak diketahui lagi keberadaannya sampai tersiar kabar terkait kasus paspornya di Singapura.

Sejauh ini, masih ada puluhan koruptor berkeliaran di luar negeri. Dalam konteks mengembalikan buron itulah Indonesia perlu mengaktifkan perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Jangan sampai perjanjian itu terus terganjal oleh perjanjian kerja sama di bidang pertahanan.

Sebaik-baiknya perjanjian ekstradisi tentu jauh lebih baik menjaga rumah sendiri agar para maling uang rakyat tidak bebas melarikan diri ke luar negeri. Kaburnya para koruptor itu memperlihatkan sisi lemah penjagaan negeri sendiri. Jangan-jangan begitu banyaknya penjahat yang kabur ke luar negeri karena ada persekongkolan aparat. Jangan sampai itu terjadi.



Berita Lainnya