Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Putusan MK Penguatan KPK

06/5/2021 05:00
Putusan MK Penguatan KPK
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

DARI gugatan formil dan gugatan materiel yang diajukan terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU KPK tersebut. Untuk gugatan formil, hakim konstitusi menolak secara keseluruhan.

Poin yang kemudian paling banyak disorot ialah pendapat MK bahwa Pasal 12B dan Pasal 37B ayat (1) huruf b UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat. Pasal 12B itu memuat ketentuan penyadapan harus dilakukan setelah izin tertulis Dewan pengawas (Dewas) KPK. Adapun Pasal 37B ayat (1) huruf b ialah soal tugas Dewas KPK terkait izin penyadapan, penggeledahan, serta penyitaan.

Pendeknya, Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangan Dewas KPK memberikan izin tertulis kepada lembaga antikorupsi terkait dengan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Setelah putusan yang bersifat final dan mengikat ini, pimpinan KPK cukup hanya memberitahukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan itu kepada Dewas KPK.

Tentu saja putusan ini harus dihormati dan dipatuhi semua pihak. Ingat, putusan itu bukan hanya untuk para pemohon atau penggugat, bukan pula cuma untuk KPK, melainkan untuk kita semua. Publik, Dewas KPK, maupun pimpinan KPK seyogianya tak perlu mendebatkan lagi putusan tersebut sehingga tidak berkembang menjadi polemik yang berkepanjangan. Seluruh pihak yang disebut dalam putusan itu wajib menjalankannya secara profesional.

Sikap kita mesti teguh, termasuk dalam melihat putusan MK itu, bahwa fokus kita tetaplah pada penguatan KPK. Penguatan ini harus terus kita gemakan mengingat kejahatan korupsi masih teramat sulit dibasmi. Nah, bila selama ini pasal yang mengatur soal perlunya izin Dewas untuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan itu kerap dianggap melemahkan proses penegakan hukum karena memperlambat penindakan, bukankah putusan MK itu sudah memenuhi aspirasi publik?

Pun, jika kita melihat salah satu pertimbangan hakim konstitusi yang menyatakan bahwa kewajiban pimpinan KPK untuk mendapatkan izin Dewas dalam melakukan penyadapan merupakan bentuk campur tangan atau intervensi. Bukankah ini juga sejalan dengan spirit untuk membawa KPK senantiasa kuat dengan baju independensi yang tak boleh ditawar-tawar?

Dengan ketiadaan 'intervensi' dan pendeknya rantai prosedur perizinan tersebut, publik tentu berharap KPK makin galak dan gesit dalam melakukan proses penyelidikan dan penyidikan. Galak bukan berarti beringas dan boleh serampangan. Gesit pun tidak boleh diartikan asal cepat tanpa mempertimbangkan akurasi dan kelengkapan bukti.

Peran pimpinan KPK sangat dibutuhkan dalam hal ini agar kewenangan yang dipunyai para penyidik tak sembarangan digunakan. Dewas KPK pun, meski satu kewenangannya terkait pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan sudah diamputasi, masih punya tugas besar, yakni mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, baik pimpinan maupun pegawainya.

Namun, watchdog sesungguhnya dalam upaya pemberantasan korupsi ialah rakyat. Publiklah pengawal dan pengawas KPK yang sebenarnya. Mengawal agar konstitusi betul-betul dijalankan oleh komisi antirasuah tersebut. Mengawasi supaya KPK tetap tegak lurus sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.

Kita masih punya mimpi besar untuk menihilkan korupsi di negeri ini, atau setidaknya bisa mengangkat lagi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang pada 2020 masih berada di peringkat 102 dari 180 negara. Meski berat, itu bukan mustahil. Selama didukung segenap elemen bangsa, KPK tak pernah kehabisan nyali dan taji. Akan tetapi, jangan coba-coba melenceng karena rakyat yang akan mengawasi.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik