Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
DARI gugatan formil dan gugatan materiel yang diajukan terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU KPK tersebut. Untuk gugatan formil, hakim konstitusi menolak secara keseluruhan.
Poin yang kemudian paling banyak disorot ialah pendapat MK bahwa Pasal 12B dan Pasal 37B ayat (1) huruf b UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat. Pasal 12B itu memuat ketentuan penyadapan harus dilakukan setelah izin tertulis Dewan pengawas (Dewas) KPK. Adapun Pasal 37B ayat (1) huruf b ialah soal tugas Dewas KPK terkait izin penyadapan, penggeledahan, serta penyitaan.
Pendeknya, Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangan Dewas KPK memberikan izin tertulis kepada lembaga antikorupsi terkait dengan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Setelah putusan yang bersifat final dan mengikat ini, pimpinan KPK cukup hanya memberitahukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan itu kepada Dewas KPK.
Tentu saja putusan ini harus dihormati dan dipatuhi semua pihak. Ingat, putusan itu bukan hanya untuk para pemohon atau penggugat, bukan pula cuma untuk KPK, melainkan untuk kita semua. Publik, Dewas KPK, maupun pimpinan KPK seyogianya tak perlu mendebatkan lagi putusan tersebut sehingga tidak berkembang menjadi polemik yang berkepanjangan. Seluruh pihak yang disebut dalam putusan itu wajib menjalankannya secara profesional.
Sikap kita mesti teguh, termasuk dalam melihat putusan MK itu, bahwa fokus kita tetaplah pada penguatan KPK. Penguatan ini harus terus kita gemakan mengingat kejahatan korupsi masih teramat sulit dibasmi. Nah, bila selama ini pasal yang mengatur soal perlunya izin Dewas untuk penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan itu kerap dianggap melemahkan proses penegakan hukum karena memperlambat penindakan, bukankah putusan MK itu sudah memenuhi aspirasi publik?
Pun, jika kita melihat salah satu pertimbangan hakim konstitusi yang menyatakan bahwa kewajiban pimpinan KPK untuk mendapatkan izin Dewas dalam melakukan penyadapan merupakan bentuk campur tangan atau intervensi. Bukankah ini juga sejalan dengan spirit untuk membawa KPK senantiasa kuat dengan baju independensi yang tak boleh ditawar-tawar?
Dengan ketiadaan 'intervensi' dan pendeknya rantai prosedur perizinan tersebut, publik tentu berharap KPK makin galak dan gesit dalam melakukan proses penyelidikan dan penyidikan. Galak bukan berarti beringas dan boleh serampangan. Gesit pun tidak boleh diartikan asal cepat tanpa mempertimbangkan akurasi dan kelengkapan bukti.
Peran pimpinan KPK sangat dibutuhkan dalam hal ini agar kewenangan yang dipunyai para penyidik tak sembarangan digunakan. Dewas KPK pun, meski satu kewenangannya terkait pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan sudah diamputasi, masih punya tugas besar, yakni mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, baik pimpinan maupun pegawainya.
Namun, watchdog sesungguhnya dalam upaya pemberantasan korupsi ialah rakyat. Publiklah pengawal dan pengawas KPK yang sebenarnya. Mengawal agar konstitusi betul-betul dijalankan oleh komisi antirasuah tersebut. Mengawasi supaya KPK tetap tegak lurus sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.
Kita masih punya mimpi besar untuk menihilkan korupsi di negeri ini, atau setidaknya bisa mengangkat lagi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang pada 2020 masih berada di peringkat 102 dari 180 negara. Meski berat, itu bukan mustahil. Selama didukung segenap elemen bangsa, KPK tak pernah kehabisan nyali dan taji. Akan tetapi, jangan coba-coba melenceng karena rakyat yang akan mengawasi.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved