Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Mengawal Tilang Elektronik

25/3/2021 05:00
Mengawal Tilang Elektronik
Ilustrasi MI(MI/Duta)

SEBUAH keniscayaan yang biasa dari sisi teknologi, tetapi mencuatkan harapan luar biasa di sisi perubahan budaya berlalu lintas di Indonesia. Itulah satu kalimat yang barangkali bisa menggambarkan tentang sistem tilang elektronik atau electronic traffic law enforcement (ETLE) yang baru dua hari lalu diluncurkan secara nasional.

Pada tahap satu, ETLE diluncurkan di 12 provinsi dan secara bertahap akan terus dikembangkan ke semua provinsi. Dalam praktiknya, sistem ETLE terintegrasi dari polres, polda, hingga Korlantas Polri.

Ya, tidak ada yang terlalu istimewa dari peluncuran ETLE itu jika kita melihatnya dari sisi teknologi. Era kini hal-hal yang berbasis teknologi sudah menjadi tuntutan, termasuk hal sistem lalu lintas. Malah jika mau jujur, Indonesia tergolong terlambat menerapkan tilang elektronik, bahkan bila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Yang mungkin bakal luar biasa ialah dampaknya terhadap kebiasaan di masyarakat. Yang pertama menyangkut kebiasaan berlalu lintas atau budaya berkendara. Ini berkaitan dengan kepatuhan masyarakat terhadap aturan lalu lintas yang selama ini konsisten rendah.

Kebanyakan pengguna jalan yang hanya patuh ketika ada petugas dan cuek melanggar aturan ketika tidak ada polisi yang berjaga. Nah, dengan sistem tilang elektronik ini, dengan kamera pemantau di banyak titik, diharapkan mengubah perilaku pengguna jalan menjadi lebih tertib tanpa harus ada sosok polisi yang mengawasi.

Yang kedua ialah kebiasaan ‘berdamai’ alias suap alias sogok-menyogok yang sudah bukan rahasia lagi melibatkan masyarakat pengguna jalan dan polisi. Yang banyak terjadi selama ini, kegemaran pengguna jalan melanggar hukum lalu lintas bertemu dengan oknum-oknum petugas yang korup. Jalanan menjadi tempat transaksi. Ingin tidak kena tilang bayar sekian; mau bebas mengangkut muatan berlebih selipkan sogokan.

Dengan ETLE, praktik-praktik suap dan pungutan liar seperti itu semestinya bakal punah karena tidak ada lagi model tilang di tempat. Sistem tilang elektronik meminimalkan interaksi antara petugas dan pelanggar. Dengan begitu celah untuk menyalahgunakan wewenang oleh petugas dengan memanfaatkan kesalahan pelanggar menjadi tertutup.

Secara konsep, penerapan tilang elektronik tentu harus kita dukung. Namun, tetap juga mesti kita kawal penuh agar eksekusinya di lapangan betul-betul seperti yang diharapkan. Satu hal yang mesti diperhatikan, karena mengaplikasikan teknologi, tentunya konsep ini akan sangat bergantung pada alat dan sistem operasinya.

Idealnya, ketika sudah diluncurkan tidak boleh ada secuil pun kesalahan dalam sistem. Jika sudah diaplikasikan, tak boleh ada istilah sistem ngadat atau mudah kena hack (dibajak), misalnya. Artinya, kesiapannya harus betul-betul bisa dipertanggungjawabkan, termasuk pemeliharaan alat-alat pendukung seperti kamera pengawas.

Yang tidak kalah penting ialah jangan manfaatkan penerapan sistem tilang elektronik justru sebagai ladang baru untuk menambang fulus. Amat tidak patut kalau sistem yang dimaksudkan untuk menutup celah pungli, malah membuka celah korupsi yang lebih besar.

Kita tentu masih ingat kisah beberapa tahun lalu tentang simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) yang niat awalnya sangat baik untuk mencegah potensi pungli oleh petugas, pengadaannya malah dikorupsi. Hal yang sama mungkin saja terjadi pada pengadaan alat pendukung ETLE.

Inilah yang mesti diyakinkan Polri bahwa cerita kini berbeda dengan kisah masa lalu. Seperti janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo seusai dilantik beberapa waktu lalu, Polri harus makin profesional dalam mewujudkan rasa keadilan dan menjadi organisasi yang transparan. Transparansi mestinya juga menjadi jiwa dari ETLE sehingga dukungan masyarakat terhadap penerapan sistem tersebut tidak sia-sia.



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik