Pemilu Amerika Kemenangan Demokrasi

10/11/2020 05:00
Pemilu Amerika Kemenangan Demokrasi
(MI/Seno)

 

 

PEMILU Amerika Serikat tahun ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya agenda rutin yang menyedot perhatian masyarakat global. Pandemi covid-19 yang meredupkan hampir seluruh kegiatan internasional lainnya sekaligus menjadi amplifier pesta demokrasi Amerika ke seantero dunia.

Tanpa disadari banyak di antara kita dan miliaran penduduk lainnya berperilaku layaknya pendukung pasangan capres dan cawapres yang tengah berlaga memperebutkan kursi di Gedung Putih. Tidak terkecuali para pemimpin dunia.

Maka, ketika proses hitung cepat rampung dan menunjukkan Joe Biden-Kamala Harris mengalahkan Donald Trump-Mike Pence, ada yang bersorak-sorai dan ada pula yang terdiam. Sorak sorai diwakili ucapan selamat kepada presiden dan wakil presiden terpilih dengan semringah tanpa ditunda-tunda.

Terbayang wajah-wajah bahagia dari pemimpin negara-negara G-7 karena Joe Biden sudah berkomitmen kembali masuk Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Di bawah kepemimpinan Trump, Amerika memutuskan mundur dari kesepakatan itu. Hal yang memancing  kegusaran para pemimpin Eropa terhadap Trump.

Kendati ucapan selamat untuk Biden dan Harris membanjir, beberapa kepala negara menunda. Bahkan pemimpin Tiongkok Xi Jinping yang jelas tidak menyukai kepemimpinan Trump karena memperuncing perang dagang, memilih berdiam dulu. Para kepala negara ini umumnya beralasan hasil pemilu AS belum final.

Trump dan jajaran pendukungnya justru tidak mempermasalahkan akurasi metode hitung cepat dalam memprediksi raihan jumlah suara. Namun, mereka menuding bahwa kemenangan Biden-Harris hasil dari manipulasi surat suara, terutama suara yang disampaikan lewat pos.

Sejak awal, Trump memang enggan mendukung pencoblosan surat suara oleh pemilih yang tidak datang langsung ke TPS. Akan tetapi, wabah covid19 memberi tekanan.

Di sisi lain, hasil pemilu AS sudah jelas. Selisih suara Biden dan Trump cukup signifikan dengan 290 suara elektoral untuk Biden dan 214 untuk Trump. Joe Biden bahkan memecahkan rekor perolehan suara sepanjang sejarah Pilpres Amerika Serikat.

Rekor lainnya juga terpecahkan. Dengan kemenangan ini, Kamala Harris yang digandeng Joe Biden bakal menjadi perempuan wakil presiden pertama Amerika.

Bukan itu saja, dengan latar belakang sebagai putri keluarga imigran, Harris menjadi simbol perlawanan atas kebijakan Trump yang frontal menekan warga pendatang.

Bersama Harris, Biden dengan rencana kebijakannya membela kaum minoritas, termasuk imigran dan kepentingan komunitas warga kulit hitam, berhasil meraih dukungan suara besar. Padahal, narasi berkebalikan dengan kampanye Biden justru yang membantu Trump  memenangi kontestasi Pilpres 2016.

Di Pemilu AS 2020, demokrasi kembali menunjukkan supremasinya. Hasil perolehan suara merupakan kehendak rakyat. Tidak masalah bila rakyat berubah pikiran tentang kebijakan yang tepat untuk menentukan arah kemajuan bangsa.

Bukan hal yang mengherankan pula jika petahana yang rata-rata mampu bertahan dua periode ternyata terjungkal di kontestasi kedua. Yang terpenting rakyat sudah menentukan pilihan dan itu tecermin dari hasil perhitungan suara dalam pemilu. Terlepas dari siapa pun  pemenangnya, proses tersebut mengantarkan kemenangan bagi demokrasi.

Tugas berat sudah menanti Biden-Harris, yaitu menata ulang Amerika Serikat pascapemerintahan Trump. Tidak hanya di dalam negeri,  Amerika mesti memulihkan kembali hubungannya dengan negara-negara lain yang sempat diputuskan Trump.



Berita Lainnya