Menimbang Tunda Pilkada

22/9/2020 05:00

DESAKAN agar pemerintah menunda kembali pelaksanaan pilkada kian mengemuka. 

Hal itu sebagai buntut maraknya pelanggaran protokol kesehatan pada masa pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah pada 4-6 September lalu. Di saat yang sama, laju penularan korona dan kematian pasien covid19 terus meningkat. 

Klaster-klaster penularan covid-19 bermunculan di kalangan penyelenggara pemilu, mulai dari tingkat daerah hingga ke tingkat pusat. Di jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja ada 96 terkonfirmasi positif covid-19.

Termasuk, tiga komisioner KPU RI. Ketiganya memang tergolong hanya menunjukkan gejala ringan. Bahkan, salah satunya, yakni komisioner KPU RI Evi Novida Ginting, sudah dinyatakan sembuh setelah menjalani karantina mandiri.

Kendati tren penularan covid-19 menunjukkan prospek kurang baik, pemerintah menilai situasi masih terkendali. Pilkada tetap digelar sesuai jadwal dengan waktu pemungutan suara 9 Desember 2020. 

Komisi II DPR RI mendukung melalui kesepakatan dalam rapat kerja bersama Menteri Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu, kemarin. Bola pun diserahkan ke KPU untuk merevisi dan menetapkan aturan-aturan yang dianggap perlu untuk mencegah kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan lainnya. 

Di antaranya melarang pertemuan yang melibatkan massa seperti rapat umum, konser, dan arak-arakan. Yang perlu diingat, keputusan melanjutkan proses pilkada disertai terbitnya aturan-aturan pendukung tidak menghilangkan kerawanan pilkada dari wabah covid-19. 

Masih ada keraguan atas kemampuan penyelenggara pemilu beserta aparat untuk menegakkan protokol kesehatan. Publik menyaksikan betapa tidak berdayanya aparat, penyelenggara pemilu, maupun pemerintah menjatuhkan sanksi keras kepada para pelanggar di masa pendaftaran. 

Semua sanksi yang dikeluarkan hanya berupa teguran. Betul, bahwa ada kelemahan dari sisi aturan. Namun, yang paling mengkhawatirkan justru lemahnya penegakan hukum ketika jelas-jelas sudah memiliki landasan kuat berupa UndangUndang Wabah Penyakit Menular dan UndangUndang Kekarantinaan Kesehatan. Itu pun masih disokong dengan kukuh oleh KUHP.

Ke depan, masih banyak momen tahapan berikutnya dalam pilkada yang sangat rawan pelanggaran masif terhadap protokol kesehatan. Jangan buru-buru mengubur opsi menunda pilkada.

Sewaktu-waktu opsi tersebut harus siap diambil ketika situasi penularan memburuk. Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu perlu menetapkan sejumlah indikator di setiap tahapan pilkada berikutnya sebagai rambu untuk pengambilan keputusan. 

Setiap tahapan merupakan titik kritis kelanjutan pilkada. Yang terdekat ialah tahapan penetapan pasangan calon kepala daerah esok yang disusul pengundian nomor urut di hari berikutnya.

Kerumunan berpotensi marak ketika para pendukung menyambut deklarasi pasangan calon kepala daerah. Belum lagi pendukung yang tidak puas saat pasangan calon yang mereka dukung dinyatakan tidak lolos. 

Di setiap tahapan pilkada, penegakan hukum kembali diuji. Bila lepas kendali dan tidak tertangani dengan sanksi keras bagi pelanggar, lebih baik pilkada ditunda demi keselamatan rakyat.

Jangan sampai ungkapan salus populi suprema lex esto yang belakangan kerap didengungkan pemerintah jadi sekadar jargon. Tunjukkan bahwa keselamatan rakyat adalah benar merupakan hukum tertinggi.



Berita Lainnya