Demokrasi Cukong

14/9/2020 05:00

KAJIAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa 82% calon kepala daerah didanai sponsor tidaklah mengejutkan. Disebut tidak mengejutkan karena biaya politik memang selangit, praktik seperti itu pun sudah berjalan lama dan dibiarkan.

Sponsor yang juga disebut sebagai cukong itu sesungguhnya sudah hadir sejak pilkada langsung pertama kali digelar pada 2015. Besaran dana sponsor terus meningkat. Sekitar 70% pada 2015 meningkat menjadi 82% pada 2017 dan 2018.

Meski sponsor selalu muncul setiap kali pilkada digelar, upanya nyata untuk melawannya belum tampak. Otoritas untuk itu cuma bermain wacana yang bisa berdampak pada delegitimasi pilkada.

Sumber masalahnya ialah biaya politik yang amat mahal. Biaya yang dikeluarkan seorang calon bupati, berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri, sekitar Rp30 miliar. Calon gubernur lebih besar lagi, bisa mencapai Rp100 miliar.

Besaran biaya yang dibutuhkan calon tidak seimbang dengan kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan data laporan harta kekayaan penyelenggara negara, rata-rata total harta ke kayaan calon kepala daerah sekitar Rp6,7 miliar. Bahkan, ada yang memiliki harta negatif.

Biaya terbesar yang dikeluarkan calon untuk kebutuhan mahar politik. Bukan rahasia lagi, pada umumnya calon membeli dukungan partai politik. Dalam konteks inilah patut diapresiasi partai yang secara terbuka mendeklarasikan diri tanpa mahar politik.

Alokasi dana lainnya yang nilainya cukup besar dipakai calon untuk keperluan sosialisasi, membiayai survei, kampanye, dan membayar saksi, hingga penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan.

Adanya kesenjangan antara kemampuan keuangan calon kepala daerah dan biaya yang harus dikeluarkan itulah yang menyebabkan calon mencari dan menerima tambahan dana. Dana itu bersumber dari cukong politik.

Pada umumnya, setelah calon yang didukung menang, sponsor pilkada mengharapkan kemudahan perizinan dalam berbisnis, kemudahan terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pe merintah, keamanan dalam menjalankan bisnis, dan kemudahan akses untuk menjabat di pemerintahan daerah atau BUMD. Ungkapan tidak ada makan siang gratis benarlah adanya.

Cukong politik, berdasarkan hasil studi Bawaslu pada 2018, berada di balik aksi borong partai untuk mendukung calon tunggal. Cukong yang juga disebut sebagai orang kuat lokal itu malah memerankan diri sebagai pemerintah bayangan yang mengatur kebijakan penetapan tender setelah pilkada.

Harus tegas dikatakan bahwa balas budi setelah memenangi pilkada itulah yang mengantarkan kepala daerah ke balik jeruji besi. Mereka tergelincir dalam kubangan korupsi.

Regulasi pilkada sesungguhnya membolehkan calon untuk menerima sumbangan dari baik perorangan maupun perusahaan dalam jumlah tertentu.

Akan tetapi, sumbangan itu harus dilaporkan ke KPU. Namun, yang terjadi biasanya calon menyiasati dengan pembukuan berbeda antara sumbangan resmi dan tidak resmi.

Sudah waktunya penyelenggara pemilu dan pemerintah bekerja sama dengan Pusat Pe laporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri pendanaan calon kepala daerah yang mengikuti pilkada. Jangan lagi berwacana, segera lakukan sesuatu yang nyata untuk mencegahnya.

Jangan biarkan pilkada dibajak para cukong. Jika itu yang terjadi, pilkada sebagai bentuk demokrasi lokal bisa menjelma menjadi demokrasi cukong.

 

 

 

 

 

 

 



Berita Lainnya