Matangkan Kebijakan sebelum Diumumkan

12/9/2020 05:00

PANDEMI korona atau covid-19 diyakini memiliki dampak multidimensi sangat serius terhadap suatu wilayah. Jika tidak ditangani dengan tuntas, covid-19 tidak hanya menimbulkan dampak serius di bidang kesehatan, tetapi juga dapat membuat suatu negara atau daerah mengalami persolan yang lebih luas dan lebih berat.

Persoalan pandemi yang semula hanya merupakan masalah di bidang kesehatan, jika tidak komprehensif penanganannya, membuat sektor penting seperti perekonomian ikut terdampak. Konsekuensinya, saat mengambil keputusan terkait pengatasan pandemi, pengambil kebijakan diminta mempertimbangkan dengan matang dampak kebijakan yang diambil agar tidak kontraproduktif dan membawa akibat buruk terhadap bidang-bidang kehidupan lain.

Pandangan itu banyak mengemuka saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Kamis (10/9), menarik ‘rem darurat’ dalam penanganan pandemi covid-19 dengan menghentikan status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi dan mengembalikan Ibu Kota kepada PSBB seperti yang berlaku di awal masa pandemi.

Anies menyatakan keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa kondisi pandemi di Ibu Kota yang sudah berada di tahap mengkhawatirkan. Jika ‘rem darurat’ itu tidak diambil, kata dia, dikhawatirkan kapasitas rumah sakit di Jakarta akan segera penuh hanya dalam sepekan.

Untuk itu, mulai Senin, 14 September 2020, PSBB ketat akan diberlakukan kembali di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta. Seluruh aktivitas di segala sektor, terkecuali 11 sektor penting, dihentikan. Warga diminta tetap berada di rumah, kecuali untuk keperluan yang mendesak.

Adalah wajar jika keputusan Anies yang mengembalikan status DKI Jakarta ke PSBB lama disesalkan banyak kalangan. Salah satu yang paling mengemuka ialah munculnya kekhawatiran akan dampak ‘rem darurat’ PSBB yang mengejutkan pelaku ekonomi dan mengganggu progres yang telah dicapai selama ini.

Sejumlah pelaku usaha menyoroti geliat perekonomian yang sudah mulai tumbuh sebagai dampak dari penggelontoran stimulus untuk mengungkit daya beli. Pengembalian status DKI ke PSBB lama dinilai sama saja dengan menghentikan progres yang telah dicapai dalam pemberian stimulus tersebut. Kita melihat pandangan tersebut beralasan dan memiliki dasar yang jelas.

Reaksi pasar atas kebijakan tersebut juga terlihat nyata dan langsung. Setelah kebijakan itu diumumkan, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (10/9), dilaporkan langsung turun meski pada penutupan perdagangan kemarin kembali menguat.

Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta kemarin masih ditutup melemah karena terseret sentimen negatif pemberlakuan PSBB total di Jakarta.

Kita mendorong agar fenomena di Jakarta tersebut menjadi pelajaran bagi daerah lain untuk mempertimbangkan dan mematangkan benarbenar suatu kebijakan sebelum ia diputuskan dan diumumkan kepada publik.

Sebuah kebijakan terlanjur diumumkan, setelah mendapat reaksi yang luas, baru dibahas kembali. Mestinya, kebijakan dibahas matang di internal pemerintah, setelah itu baru diumumkan.

Meski perkembangan terakhir penanganan pandemi covid-19 memang mengkhawatirkan, tidak perlu gagap mengambil kebijakan. Dalam mengambil solusi, berbagai dampak yang berpotensi muncul dari kebijakan itu tetap harus dipertimbangkan secara matang dan komprehensif.

Jangan sampai akibat kebijakan itu satu persoalan selesai, tetapi persoalan lain yang lebih besar justru muncul. Inilah pelajaran yang ingin kita tarik dari kasus di DKI Jakarta.



Berita Lainnya