Kembali ke PSBB Total

11/9/2020 05:00

PENERAPAN kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) total di DKI Jakarta mulai Senin (14/9) memang keniscayaan. Inilah rem yang dibutuhkan ketika penambahan kasus sudah ibarat kereta cepat.

Jakarta kembali ke kebijakan PSBB total karena lima kali PSBB transisi tidak efektif. Pertimbangan kebijakan itu sangat rasional, yaitu didasari pada angka kematian, angka keterisian tempat tidur di ruang isolasi, dan keterisian tempat tidur di ruang ICU.

Pada 6 September, DKI mencetak rekor kedua penambahan kasus covid-19, yakni 1.176 kasus. Rekor tertinggi pertama baru terjadi 3 hari sebelumnya, yakni dengan penambahan 1.359 kasus.

Kita semua harus cemas, bahkan ngeri, dengan hal itu sebab penambahan kasus yang menggila itulah yang lalu membuat kapasitas rumah sakit mencapai 90%, yang artinya berbahaya sekali.

Kapasitas itu membawa rumah sakit dan sumber dayanya mendekati kolaps. Hasilnya bukan saja semakin banyak korban tenaga kesehatan, tetapi otomatis juga semakin banyak pasien tidak tertangani.

Jika sudah begitu, si sakit hanya diserahkan kepada hukum alam. Namun, itu tidak sesederhana bahwa yang kuat yang bertahan sebab pada prosesnya ia juga bisa menjadi penyebar virus.

Elok nian bila pusat dan daerah berkoordinasi lebih baik lagi sebelum sebuah keputusan diumumkan kepada publik. Apalagi, gubernur itu perpanjangan tangan pemerintah pusat. Kesan mengambil keputusan sendiri-sendiri  harus dihindari.

Permintaan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto agar Pemprov DKI Jakarta memperbolehkan 50% pekerja bisa tetap bekerja di kantor saat PSBB diperketat patut dipertimbangkan.

Kebijakan flexible working hours didasari pada argumentasi logis bahwa perekonomian mesti tetap berdenyut meski kesehatan dinomorsatukan.

Harus tegas dikatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak bisa berjuang sendiri untuk mengatasi penyebaran covid-19. Bila benar bahwa daya tampung rumah sakit di Ibu Kota sudah penuh, mestinya hal itu dibicarakan baik-baik dengan pu sat sehingga bisa dicarikan solusi secara menyeluruh. Jangan jalan sendiri-sendiri.

Pelaksanaan PSBB transisi di Jakarta juga perlu dievaluasi menyeluruh. Terus terang, selama PSBB transisi diterapkan, seakan-akan seluruh protokol kesehatan diabaikan. Orang tidak lagi menjaga jarak, menggunakan masker dengan benar, dan sering mencuci tangan.

Benar bahwa Pemprov DKI Jakarta sering melakukan sidak untuk memastikan penerapan protokol kesehatan. Akan tetapi, sidak itu lebih bersifat seremoni daripada memberikan efek jera. Setelah sidak selesai, tempat usaha kembali melanggar aturan.

Ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan jangan pernah dibiarkan. Sudah saatnya Pemprov DKI Jakarta berjalan tegak lurus dengan menerapkan sanksi yang tegas, jauh lebihtegas lagi, terhadap semua orang yang melanggar protokol kesehatan. Tidak perlu ragu-ragu meminta bantuan Polri, juga TNI, untuk menegakkan disiplin atas protokol kesehatan.

Pelaksanaan PSBB total di Jakarta hendaknya dilakukan de ngan penuh kreativitas. Salah satunya ialah melibatkan pe ran serta komunitas masyarakat di tingkat rukun warga. Bisa jadi, PSBB total cukup dilaksanakan di tingkat rukun tetangga atau kecamatan.

Daerah-daerah penyangga juga perlu dilibatkan. Ibarat kereta cepat, laju perekonomian dan sosial selama ini memang Jakarta di kepala gerbong dan daerah-daerah penyangga se bagai gerbong penyokongnya. Percuma saja menerapkan PSBB total di Ibu Kota, sementara daerah penyangga melonggarkannya.

 

 

 

 

 

 

 



Berita Lainnya