Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
EKSPEKTASI publik terhadap institusi penegakan hukum di negeri ini sejatinya tak pernah berubah. Publik selalu menghendaki mereka dapat menjaga integritas, bertindak sungguh-sungguh, profesional, transparan, dan independen dalam setiap penanganan kasus apa pun. Meski kerap dikecewakan, publik tak pernah mengurangi ekspektasi.
Seperti itu pula yang diharapkan publik dari lembaga Kejak saan Agung saat ini dalam kaitannya dengan kasus dugaan pelarian Joko Soegiarto Tjandra, buron korupsi hak tagih Bank Bali, yang menghebohkan. Kita tahu, hanya gara-gara seorang Joko, dua institusi penting Republik ini, kepolisian dan kejaksaan, ikut ter bawa dalam pusaran kasusnya.
Meskipun kejaksaan lambat merespons dugaan keterlibatan ‘anggotanya’ dalam kasus tersebut, bahkan belakangan malah sempat mengeluarkan jurus nyeleneh dengan mengeluarkan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 yang terkesan hanya untuk melindungi aparatnya dari jeratan hukum, publik tetap menyimpan harapan tinggi.
Kesal, itu pasti. Akan tetapi, di balik kekesalan tersebut, sebagian publik tetap berpandangan positif bahwa mungkin ini saatnya Kejaksaan Agung untuk bersih-bersih diri. Itu terutama setelah Kejagung akhir nya menetapkan jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai tersangka dugaan gratifi kasi yang diterima dari Joko Tjandra.
Jaksa Pinangki Sirna Malasari ditangkap dan ditahan pada Selasa (11/8). Adapun tindak pidana yang disangkakan terhadap Pinangki ialah melanggar Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur tentang pemberian sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun. Penangkapan dan penahanan Pinangki menjadi perhatian publik karena tersangka seorang jaksa dan penyidiknya juga dari kejaksaan.
Namun, barangkali tak salah juga bila masih ada pihak yang meragukan komitmen kejaksaan dalam kasus ini. Apalagi, belakangan kejaksaan rajin menciptakan situasi yang membuat mereka tidak kredibel di mata publik. Bagaimana kejaksaan bisa diharapkan membersihkan internal mereka jika lembaganya sendiri tak dipercaya?
Persoalan kedua, ada dugaan suap senilai US$500 ribu yang diduga diterima Pinangki terkait Joko Tjandra.
Dalam konteks kasus dugaan suap, publik tentu lebih percaya bila KPK dilibatkan. Sejumlah lembaga juga sudah menyuarakan itu. Selain secara lembaga KPK lebih dipercaya, kita pun agak ngeri membayangkan bila kasus suap oknum jaksa ditangani oleh institusinya sendiri.
Sesungguhnya bersih-bersih diri memang mudah diucapkan, tapi sangat sukar dipraktikkan. Tidak hanya butuh komitmen kuat, tapi juga konsistensi dan persistensi tinggi agar upaya bersih-bersih diri itu tak malah berbelok menjadi ajang membela diri atau bahkan untuk sekadar melindungi korps.
Artinya, bila kejaksaan ingin bersih-bersih diri, pada saat yang sama mereka juga harus rela membuka diri. Terutama membuka diri terhadap kemungkinan masuknya lembaga lain mengusut kasus aliran dana suap yang melibatkan aparatnya.
Jangan lupa, aliran dana kepada jaksa Pinangki patut diduga juga akan menetes ke beberapa pihak lain yang dapat membantu kasus Joko Tjandra. Pinangki tentu tidak sendirian menerima uang itu, seperti hal nya dia juga tak sendiri dalam memainkan semua skandal itu.
Pada titik tersebut, publik tentu lebih percaya bila bukan kejaksaan yang mengusutnya karena kalau itu yang terjadi, amat mungkin kejaksaan akan kehilangan independensi.
Sekali lagi kita ingatkan, bersih-bersih tak boleh tanggung. Bila sapu sendiri tidak mampu, mengapa tak memakai sapu lain yang lebih layak dan dikenal lebih bersih. Kejaksaan mestinya sudah tahu soal itu. Masalahnya hanya ada pada kemauan dan kere laan.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved