Kesigapan Era Pandemik

29/1/2020 05:05

SETELAH hampir dua bulan sejak virus korona tipe baru (2019-novel coronavirus/nCoV) terdeteksi di Wuhan, Tiongkok, kini wabahnya makin mengerikan. Hingga kemarin siang, korban meninggal dunia telah mencapai 107 orang dan lebih dari 4.400 orang terkonfirmasi terinfeksi.

Betul bahwa dunia pernah mengalami wabah yang lebih mengerikan. Jika dibandingkan dengan ebola, campak, MERS, atau SARS, tingkat kematian atas kasus 2019-nCoV masih di bawah itu semua. Tingkat kematian 2019-nCoV di level 4%, sedangkan kasus MERS yang berasal dari Arab Saudi mencapai 35% dan ebola mencapai 50%.

Sekadar menyodorkan angka-angka statistik tentu tidak dapat membuat masyarakat tenang. Terlebih tidak pernah pula dalam sejarah, sebuah negara sampai menutup 14 kotanya hingga membuat 56 juta manusia, termasuk para WNA, terperangkap.

Langkah Tiongkok yang belum mengizinkan pemerintah berbagai negara untuk mengevakuasi warga masing-masing juga tidak dapat disalahkan. Sumber daya manusia mereka sendiri terpusat untuk berbagai tindakan penanganan medis ataupun nonmedis di lapangan. Sungguh bukan sebuah pekerjaan enteng bagi mereka untuk membuat sistem evakuasi WNA yang aman dan tepat di tengah kondisi seperti itu.

Pemerintah berbagai negara kini mencari cara lain untuk membantu warga masing-masing. Penyaluran bantuan lewat jalan darat oleh kantor-kantor perwakilan negara pun tidak mudah.

Selain perjalanan antarkota yang memang ditutup, setiap interaksi pun membawa risiko penularan. Kementerian Luar Negeri Indonesia memilih penyaluran logistik lewat kurir untuk 93 pelajar WNI di Wuhan. KJRI terdekat berada di Shanghai dan Guangzhou yang berbeda provinsi dari pusat wabah itu.

Meski memaklumi keterbatasan gerak akibat kebijakan pemerintah Tiongkok, kita mendesak Kemenlu memaksimalkan segala sumber daya yang dimiliki. Penyaluran logistik menggunakan kurir itu harus menjangkau seluruh WNI. Bukan hanya pelajar di asrama, melainkan juga WNI di 13 kota lainnya.

Selain itu, KBRI dan KJRI harus mampu memaksimalkan akses dalam mendata seluruh WNI di Tiongkok. Meminta WNI yang menghubungi KJRI tak hanya menunjukkan ketidakpekaan, tetapi juga memperlihatkan ketidaksigapan atas kondisi serbatertekan yang dialami warga.

Lebih dari itu wabah 2019-nCoV memberi pelajaran besar akan kesigapan negara di era epidemik. Negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) yang baru Juli lalu menghasilkan undang-undang kesiapan pandemik dan kegawatdarutan lainnya pun terbukti tetap tidak berdaya mengevakuasi warganya di Tiongkok. Karena itu, Indonesia harus juga segera membuat sistem kesiapan epidemik dan pandemik yang dipayungi undang-undang.

Saat ini perundangan terkait yang dimiliki Indonesia ialah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Undang-undang itu wajar tidak lagi relevan karena perkembangan epidemik yang semakin ganas sejak milenium yang lalu.

Undang-Undang Wabah Penyakit Menular yang sudah berumur 36 tahun mendesak untuk diamendemen. Tidak hanya mengatur epidemik, perlu pula mengantisipasi wabah pandemik yang bertujuan melindungi segenap warga negara di mana pun mereka berada.

 Jika berkaca pada undang-undang AS soal pendemik, kesiapan mereka tidak hanya meliputi pembangunan sistem kesadaran masyarakat, tetapi juga dukungan pembiayaan terhadap riset kesehatan. Tidak membeo, tetapi sistem yang sama juga krusial bagi masyarakat kita.

Tentu budaya yang harus dibangun di dalam negeri bukanlah jalan mudah, mengingat kesadaran membuang sampah saja masih lemah. Namun, sesuai dengan yang dikemukakan banyak ahli bahwa sesungguhnya pencegahan paling utama dan pertama dalam wabah apa pun harus dilakukan warga sendiri, bukan mengandalkan petugas medis.



Berita Lainnya