Momentum Bongkar Mafia Perkara di MA

18/12/2019 05:00

KEKEBALAN Sekretaris Mahkamah Agung periode 2011-2016 Nurhadi mulai pudar. Tiga tahun lebih namanya santer disebut-sebut terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi pengurusan perkara di MA. Baru kini Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan dia sebagai tersangka.

Waktu yang cukup lama, meskipun tidak ada istilah terlambat dalam pemberantasan korupsi. KPK patut mendapatkan apresiasi. Tidak mudah bagi lembaga antirasuah untuk mencapai titik penetapan Nurhadi sebagai tersangka.

Jika menapak tilas jejak kasus yang diduga melibatkan Nurhadi, sejak 2016 sebenarnya KPK sudah banyak mengantongi bukti.

Dari pengakuan sejumlah saksi terkait dengan peran sentral Nurhadi hingga temuan uang sejumlah Rp1,7 miliar di rumah pribadinya yang membuat Nurhadi dicegah ke luar negeri sejak 21 April 2016.

Fakta-fakta itu boleh saja terang benderang. Akan tetapi, KPK sepertinya gagap meningkatkan status hukum 'sang promotor', begitu sandi untuk Nurhadi dalam kasus tersebut.

Nurhadi yang istrinya merupakan pejabat di salah satu kementerian seperti berada di atas hukum, dan KPK seolah tak sanggup untuk menyentuhnya.

Belum lagi drama sopir Nurhadi, Royani, saksi kunci yang diduga terkait dengan keterlibatan Nurhadi, tidak pernah bisa dihadirkan untuk diperiksa.

KPK telah selangkah lebih maju. Nurhadi sudah menjadi tersangka dengan dugaan menerima suap dan gratifikasi mencapai Rp46 miliar melalui menantunya, Rezky Herbiyono, yang juga sudah berstatus tersangka.

Perlu juga diingatkan bahwa penetapan Nurhadi sebagai tersangka hanya enam hari menjelang komisioner KPK purnatugas. Pimpinan KPK saat ini mengakhiri tugas pada 21 Desember.

Penetapan tersangka itu hendaknya berdasarkan bukti yang kuat, bukan sekadar mencari sensasi di penghujung tugas.

Publik tentu tidak ingin upaya panjang KPK menjerat Nurhadi nanti akan patah di tengah jalan. KPK harus memastikan bukti-bukti sudah terkonsolidasi, dakwaannya mesti didasarkan pada argumentasi hukum yang kuat.

KPK juga perlu diingatkan bahwa penetapan status tersangka tersebut bukanlah titik final. Bukan tidak mungkin Nurhadi akan melakukan perlawanan hukum lewat praperadilan.

Sudah banyak yusrisprudensinya seorang tersangka KPK menang di prapradilan. Belum lagi yang diputus tidak bersalah oleh pengadilan.

Penetapan tersangka Nurhadi hendaknya dijadikan pintu masuk untuk membongkar lebih jauh jaringan mafia hukum di tubuh peradilan. Jaringan mafia tidak terlihat kasatmata, tetapi terasa eksistensinya.

Tidak salah pula bila KPK menjadikan kasus Nurhadi untuk membuka tabir di MA yang saat ini tengah disorot karena beberapa putusannya, baik di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali, menguntungkan terdakwa/terpidana korupsi. MA disorot karena royal memberi diskon hukuman koruptor.

Pengusutan Nurhadi menjadi titik sentral pembenahan peradilan. Apalagi sepak terjang Nurhadi dalam pengaturan perkara terendus tidak hanya dalam satu kasus.

Setidaknya ada enam kasus lain yang diduga menyeret namanya. KPK harus tegas, jika ada pihak-pihak lain yang terlibat, juga harus diproses.

Publik paham bahwa kasus Nurhadi ini layaknya fenomena gunung es. Mafia kasus di ranah peradilan sudah layaknya virus yang menjangkiti kantor-kantor pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung, yang memiliki pola terorganisasi dengan melibatkan jaringan lintas sektoral.

Elok nian bila MA sebagai lembaga memperlihatkan komitmen yang kuat, sangat kuat, terhadap pemberantasan korupsi.

Komitmen itu tidak hanya di mulut, tapi juga dalam tindakan nyata. Karena itu, MA hendaknya kooperatif terhadap KPK yang mengusut Nurhadi.



Berita Lainnya