Saatnya KPK Berubah

03/12/2019 05:05

TIDAK lama lagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki era baru. Semangat perubahan menjadi kemestian bagi siapa saja yang bekerja di KPK seiring dengan dimulainya perubahan besar dalam tubuh lembaga antirasuah itu.

KPK tak akan lagi seperti dulu. Kurang dari tiga pekan lagi KPK akan menanggalkan label sebagai lembaga superbodi yang selama 17 tahun sulit disentuh siapa pun. Mereka memang tetap menjadi lembaga super dalam memberantas korupsi, tetapi kini bisa diawasi.

Tonggak anyar bagi KPK akan dimulai pada 21 Desember nanti tatkala dilakukan pergantian komisioner sekaligus pelantikan organ baru, yakni dewan pengawas. Itulah amanah UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar hukum yang baru bagi KPK.

Harus kita katakan, perubahan dalam diri KPK seperti yang diamanahkan UU No 19 Tahun 2019 terbilang radikal. Keberadaan dewan pengawas hanyalah salah satunya. Eksistensi dewan pengawas di KPK pun amat krusial dengan kewenangan luar biasa, dari mengawasi dan mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK sampai memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan.

Masih banyak lagi perubahan lainnya. Pegawai KPK, misalnya, kini berstatus aparatur sipil negara atau ASN. Mereka juga tak lagi dilarang menghentikan penyidikan perkara.

Pada konteks itu, wajar jika proses perubahan di KPK tak mulus-mulus amat. Ada riak-riak penolakan. Ada pula gejolak internal hingga pengunduran diri sejumlah petinggi dan pegawai KPK.

Setidaknya tiga penasihat telah memastikan mengundurkan diri, yakni M Tsani Annafari, Sarwono Sutikno, dan Budi Santoso. Sedikitnya tiga pegawai KPK juga sudah mengundurkan diri. Sebelumnya tiga komisioner KPK pun menyatakan mundur, tetapi bak menjilat ludah sendiri, kemudian dibatalkan. Dalih mereka, UU yang baru hasil revisi memangkas banyak kewenangan dan mengebiri independensi sehingga tiada gunanya lagi bekerja di KPK.

Kita menghormati pandangan dan keputusan mereka. Lagi pula, jika tak mengundurkan diri, para penasihat KPK juga segera kehilangan jabatan karena UU yang baru meniadakan posisi dewan penasihat. Posisi mereka diganti dengan dewan pengawas yang berwenang mengawasi, bukan lagi sekadar menasihati KPK.

Pengunduran diri pegawai sangat lumrah terjadi di setiap organisasi. Bahkan, bukan kali ini saja, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengaku saban bulan meneken SK pengunduran diri pegawai dengan beragam alasan, dari ingin berkarier di institusi lain hingga hendak fokus menjadi ibu rumah tangga.

Pengunduran diri penasihat dan pegawai KPK memang bukan peristiwa luar biasa, tetapi pantang disikapi secara biasa. Paling tidak, hal itu memperlihatkan bahwa soliditas dan loyalitas di tubuh KPK tengah bermasalah. Artinya, konsolidasi mendesak dilakukan dan itulah tugas pertama yang mesti ditunaikan pimpinan yang baru nanti.


Jika soliditas dan loyalitas retak, KPK mustahil dapat sigap bergerak. Namun, bukan berarti pimpinan KPK boleh menyampingkan nilai-nilai yang digariskan dalam UU hasil revisi dalam upaya konsolidasi.

Kita memang tak ingin pengunduran diri pegawai KPK terus terjadi. Akan tetapi, kita lebih tidak menginginkan mesin KPK digerakkan orang-orang yang merasa benar sendiri dalam memerangi korupsi dan menolak patuh pada sistem ataupun landasan hukum yang sah.

KPK hanya bisa memasuki era baru jika seluruh personel yang mengawakinya punya semangat yang sama untuk berubah. Saatnya KPK menutup kisah lama sebagai lembaga superbodi yang alergi diawasi dan membuka lembaran anyar sebagai ujung tombak pemberantas korupsi yang lebih tertib hukum.



Berita Lainnya