Konsistensi Oposisi untuk Indonesia Maju

29/10/2019 05:00
Konsistensi Oposisi untuk Indonesia Maju
Ilustrasi(MI/Seno)

PEMBENTUKAN Kabinet Indonesia Maju sudah rampung. Presiden juga telah menunjuk dan melantik para wakil menteri yang dimaksudkan untuk menunjang kerja menteri.

Banyak yang menuding posisi wakil menteri hanya sebagai sarana mengakomodasi seluruh kelompok pendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019. Jumlah kursi wakil menteri yang membengkak jika dibandingkan dengan kabinet di periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi menguatkan tudingan itu.

Akan tetapi, bila disebut untuk bagi-bagi posisi, jumlahnya tidak mencukupi. Terbukti, ada saja pihak-pihak yang merasa kecewa karena tidak kebagian jatah kursi. Mereka yang kecewa bukan hanya dari kelompok-kelompok pendukung, melainkan juga dari kubu yang dahulu berseberangan.

Rencana untuk merapat ke koalisi pemerintah pupus. Setidaknya untuk saat ini. Bukan tidak mungkin mereka yang kecewa masih menunggu kesempatan untuk meraih kursi di pemerintahan. Toh, perombakan kabinet bukan hal yang tabu.

Partai-partai politik, yang semestinya dapat bebas berlaku kritis atas kebijakan pemerintah, terbelenggu oleh kebutuhan untuk meraih simpati penguasa. Jika 'berkelakuan baik', siapa tahu nanti digandeng masuk gerbong pemerintah. Begitu pikir mereka.

Pola pikir seperti itu berbahaya bagi kesehatan penyelenggaraan negara. Saat ini saja partai politik peraih kursi parlemen yang berada di luar pemerintah secara persentase sudah terlampau minim. Dengan masuknya Partai Gerindra ke koalisi pemerintah, praktis menyisakan Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Ketiga parpol itu secara total hanya menguasai sekitar seperempat bagian kursi parlemen.

Sejauh ini, baru PKS yang benar-benar tegas mengambil posisi di luar pemerintah sebagai oposisi. Kita pun percaya PKS mampu menjaga konsistensi keputusan mereka. Pun demikian yang kita harapkan dari PAN dan Demokrat.

Bila benar ketiganya mendasarkan sepak terjang pada kepentingan rakyat, persentase suara yang kecil tidak akan menyurutkan semangat. Pemerintah bukan malaikat. Segala kebijakan tetap memerlukan koreksi agar tidak melenceng. Di situ peran penting oposisi.

Sebaliknya, Jokowi-Ma'ruf Amin tidak perlu memberi harapan kepada partai-partai oposisi untuk ikut bergabung ke gerbong yang sudah terlampau gemuk. Apalagi kalau sampai merayu.

Memang, keinginan untuk melewati jalan yang paling aman begitu menggoda. Semakin banyak parpol yang dirangkul, semakin mulus jalan pemerintahan. Namun, perilaku tersebut berpotensi merugikan rakyat banyak.

Ketiadaan oposisi memupuk tumbuhnya sifat penguasa yang cenderung otoriter. Penguasa semacam itu akan selalu merasa benar karena tidak ada yang tampil mengoreksi secara kritis.

Konsistensi juga diharapkan dari partai-partai yang berada di barisan pemerintah. Dukungan tidak sepatutnya dibarengi dengan mengikuti arah kebijakan partai. Lebih-lebih ketika menteri dari partai politik menjalankan tugas sebagai pembantu presiden.

Jika semua peran penyelenggaraan negara berjalan seimbang, rakyat baru boleh merasa optimistis bahwa cita-cita Indonesia maju bakal tercapai. Barangkali tidak usah menunggu sampai usia 100 tahun, cukup dalam 1-2 dekade ke depan. Karena kita bisa.

 



Berita Lainnya