Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Memulihkan Kepercayaan Publik

29/8/2019 05:05

AGUSTUS dan September 2019 boleh disebut sebagai musim pelantikan anggota DPRD. Pada periode itu sebanyak hampir 20 ribu orang, tepatnya 19.817 anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota periode 2019-2024, dilantik untuk memulai tugas mereka sebagai wakil rakyat.

Sejumlah harapan klise sudah dilontarkan. Misalnya, anggota DPRD yang baru harus menunjukkan kinerja lebih positif ketimbang DPRD periode sebelumnya. Anggota DPRD baru juga mesti konsisten terhadap tugas pokok dan fungsi sebagai wakil rakyat. Artinya, mereka harus betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyat.

Tidak ada yang salah dengan keklisean itu. Masalahnya, sesuatu yang klise biasanya diulang-ulang dan sifatnya sangat umum. Tanpa parameter yang jelas sehingga sulit bagi publik untuk mengukur sejauh mana harapan mereka sudah terpenuhi atau belum.

Padahal, sejatinya publik bisa menitipkan harapan yang lebih tajam. Lebih menukik pada pokok persoalan di daerah. Bagaimanapun dengan fungsi legislasi dan pengawasan yang mereka miliki, DPRD ialah bagian dari tanggung jawab pemerintahan daerah dalam banyak segi. Dari pemerataan ekonomi dan pembangunan hingga pengurangan kemiskinan. Maka wajar bila mereka ditagih untuk mengoptimalkan peran.

Dalam konteks otonomi dan desentralisasi, peran DPRD amatlah sentral. Apalagi, dengan visi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang ingin mewujudkan visi pembangunan Indonesiasentris, DPRD tentu menjadi salah satu kunci. Merekalah yang mestinya mampu merangkul semua kalangan di daerah serta menjadi jembatan antara pemerintah daerah dan rakyat.

Namun, di atas itu semua, rakyat ingin parlemen daerah di masa mendatang bebas dari perilaku korupsi. Sudah terlampau banyak kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan, termasuk di daerah. Saking banyaknya kasus rasywah di lingkaran DPRD, bahkan sebagian dilakukan secara massal, ada yang kemudian memelesetkan istilah otonomi daerah menjadi otonomi korupsi.

Ada sederet panjang anggota DPR dan DPRD yang tersangkut korupsi. Dalam lima tahun terakhir saja (2015-Juni 2019) setidaknya terdapat 131 anggota DPR dan DPRD dijerat KPK. Kebanyakan mereka melakukan perselingkuhan koruptif dengan eksekutif dalam pembahasan anggaran atau produk regulasi. Terkadang mereka juga berkongkalikong dengan pengusaha.

Dengan fakta-fakta itu, sejujurnya, anggota DPRD periode 2019-2024 akan memikul tanggung jawab besar di awal masa tugas mereka, yakni mengembalikan kepercayaan publik. Korupsi telah meruntuhkan sebagian kepercayaan itu. Sebagian yang lain rusak pula karena kinerja yang buruk.

Pengembalian kepercayaan akan menjadi modal amat penting. Mengapa? Karena di era sekarang, selain menjadi fokus pembangunan nasional, daerah juga memegang amanat anggaran dalam jumlah besar.

Sebagai gambaran, realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sepanjang semester I 2019 mencapai Rp403,9 triliun atau 48,9% dari pagu dalam APBN. Itu belum bicara dana hibah dan bantuan sosial. Semua itu ialah godaan yang hanya legislator berintegritas tinggilah yang bakal mampu menahan dan menghindarinya. 

Tentu saja itu bukan tugas mudah. Mengembalikan kepercayaan publik di satu sisi dan mengoptimalkan kinerja di sisi yang lain mungkin gampang diucapkan, tapi sangat sulit dipraktikkan. Butuh komitmen tinggi dari para wakil rakyat itu untuk betul-betul memahami untuk apa mereka berada di gedung parlemen. Setelah dilantik, tidak boleh ada permakluman, tak ada toleransi, mereka mesti bekerja dengan keras, cerdas, cepat, dan tentu penuh integritas.



Berita Lainnya