Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Mengelola Kekeringan

24/8/2019 05:05

SEANDAINYA kita pandai menabung hujan, tentu tak perlu cemas dengan datangnya musim kemarau panjang. Itu postulat lama yang tumbuh di negara tropis seperti Indonesia. Postulat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya.

Artinya, kita sejatinya meyakini kebenaran teori bahwa menyimpan air hujan akan memberikan banyak manfaat ketika datang musim kering atau kemarau. Bahkan kemarau panjang sekalipun. Namun nyatanya, kita sekadar yakin, tetapi tak biasa melakukannya. Kita percaya, tetapi kita terus saja malas sehingga tak kunjung pandai menabung berkah air kala musim hujan.

Yang acap terjadi malah sebaliknya. Saat debit melimpah, air curahan hujan seolah dibiarkan tak tertampung dan tak terkontrol. Jadilah banjir. Jadilah kita punya bencana ganda. Bencana kekeringan saat musim kemarau dan bencana banjir ketika datang musim hujan.

Kita selalu tergopoh-gopoh pada saat potensi bencana sudah di depan mata. Respons yang muncul pada akhirnya lebih memperlihatkan kepanikan dan langkah-langkah reaktif. Antisipasi yang muncul, baik dari pemerintah maupun masyarakat, cenderung bersifat jangka pendek dan tumpul. Tidak efektif sekaligus menggambarkan ketidaksiapan yang ditutup-tutupi.

Pun ketika kita membaca peringatan dini yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui Stasiun Klimatologi Tangerang Selatan, terkait dengan bencana kekeringan yang diperkirakan bakal melanda wilayah di Banten dan DKI Jakarta. Di situ disebut bahwa sebagian besar wilayah Banten dan DKI Jakarta akan mengalami kekeringan selama lebih kurang 20 hingga lebih dari 60 hari.

Proyeksi yang kurang lebih sama juga amat mungkin akan terjadi di banyak daerah di seantero Nusantara. Semestinya, bila bangsa ini terbiasa menabung hujan, tentu kekhawatiran akan terjadinya bencana kekeringan tidak perlu ada. Setidaknya dapat diminimalkan.

Itu semua sesungguhnya menunjukkan bahwa negara ini memerlukan antisipasi bencana kekeringan yang berdimensi jangka panjang. Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia pernah merekomendasikan agar pemerintah menginventarisasi potensi sumber daya air di setiap daerah. Data tersebut penting untuk mengetahui kemampuan tiap daerah dalam menghadapi kekeringan.

Pada saat yang sama, pemerintah sepatutnya menerapkan konsep kelestarian lingkungan pada tata guna lahan. Rawatlah hutan karena hutan ialah sumber terbesar tabungan air bawah tanah. Dalam hal yang lebih teknis, pemerintah pusat maupun daerah juga punya tanggung jawab membuat atau merevitalisasi waduk, situ, embung, dan sejenisnya.

Di sisi lain, masyarakat bisa digerakkan untuk lebih mandiri mengusahakan cadangan air permukaan. Misalnya dengan menanam minimal satu pohon untuk satu pekarangan rumah. Lalu, lantangkan lagi gerakan untuk membuat sumur resapan atau biopori di setiap rumah tinggal.

Negara ini mestinya bisa melakukan itu semua karena kita punya kelembagaan terkait kebencanaan yang komplet. Mulai level prediksi dan antisipasi hingga saat penanggulangan. Lembaga-lembaga itu pun tak hanya terfokus di pusat, tetapi juga menjangkau daerah-daerah.

Dengan modal itu, tidak seharusnya bila pengelolaan kekeringan masih bertumpu pada pola-pola darurat seperti saat ini. Sesungguhnya, kekeringan dan dampaknya bukanlah soal baru. Itu fenomena biasa yang terus berulang setiap tahun.

Lantas, masihkah kita tidak menitikberatkan perhatian pada pencegahan dan antisipasi, kemudian selalu tergagap ketika fenomena yang biasa itu berubah menjadi bencana? Mestinya tidak.



Berita Lainnya