Buruk Rupa Foto Diedit

20/7/2019 05:00

ETIKA, kejujuran, dan kredibilitas merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kontes demokrasi berkualitas. Mereka yang terlibat dalam kontestasi demokrasi sudah sepatutnya dan semestinya menerapkan prinsip-prinsip yang menjunjung etika, kejujuran, dan kredibilitas tersebut.

Dalam pemilihan anggota legislatif, misalnya, para calon anggota legislatif (caleg) sudah semestinya menampilkan data dan identitas diri apa adanya. Caleg diperbolehkan berkampanye yang dapat meningkatkan citra diri, tetapi tidak boleh melakukan manipulasi.

Dengan menampilkan kejujuran dan keautentikan data dan profil diri caleg, para calon pemilih mengetahui dan meyakini bahwa keadaan sang caleg ialah autentik, sesuai dengan yang ditampilkan dalam kampanye hingga surat suara.

Dengan data dan informasi autentik itu, para calon pemilih pun mengetahui keadaan sang calon apa adanya. Informasi yang sampai kepada pemilih akhir pun bukan hasil rekayasa atau pengemasan citra diri yang jauh dari keadaan asli sang caleg.

Yang dilakukan Evi Apita Maya, kita khawatirkan bukan termasuk implementasi dari prinsip-prinsip yang kita tekankan di atas. Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Nusa Tenggara Barat (NTB) itu belakangan ini dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dituding telah memanipulasi foto dirinya sehingga dalam materi kampanye hingga surat suara, penampilannya terlihat jauh lebih cantik daripada keadaan Evi secara aslinya.

Evi Apita, yang diketahui terpilih sebagai calon anggota DPD peraih suara terbanyak di wilayah NTB, dituduh telah melakukan manipulasi dengan mengedit foto pencalonan dirinya di luar batas wajar. Muncul tudingan itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi pemilu.

Dengan melakukan tindakan tersebut, Evi Apita dinilai telah berlaku tidak jujur. Tidak hanya mengedit foto diri di luar batas kewajaran, calon anggota DPD dengan nomor urut 26 itu pun dituduh telah dengan sengaja memasang spanduk alat peraga kampanye yang memuat foto diri yang berlogo DPD RI.

Padahal, Evi sebelumnya tidak pernah tercatat sebagai anggota DPD pada periode-periode sebelumnya.

Namun, dengan tindakan tidak terpuji tersebut, Evi Apita telah menarik simpati rakyat NTB meskipun dengan cara memanipulasi sehingga mendapat suara terbanyak sebesar 283.932.

Kita sangat prihatin, bahkan teramat prihatin dan menyesalkan tindakan Evi Apita itu. Tak hanya tidak jujur dan tidak patut, dengan tindakannya tersebut, kita melihat calon anggota DPD itu telah bertindak melewati batas kepatutan dan patut diduga juga melanggar hukum, utamanya UU Pemilu.

Wajar jika para calon anggota DPD lainnya merasa tertipu dan dibohongi serta merasa diperlakukan tidak fair dalam kompetisi. Apalagi, yang bersangkutan juga diduga telah melakukan politik uang dengan cara membagi-bagikan sembako yang mengarahkan pemilih untuk memilih calon nomor 26 tersebut.

Karena itu, kita mendukung jika ada upaya-upaya hukum yang dilakukan terkait dengan perilaku dan tindakan yang bersangkutan.

Kita percaya dengan membawa kasus tersebut ke ranah hukum, yakni melalui penyelesaian sengketa pemilu di MK, akan ada proses yang adil atas perilaku dan tindakan itu. Kita pun percaya MK akan melakukan proses hukum seadil-adilnya sesuai dengan fakta-fakta dan bukti-bukti hukum yang ada dalam perkara terkait.

Kita pun percaya, Komisi Pemilihan Umum, yang telah telanjur menetapkan yang bersangkutan sebagai calon anggota DPD terpilih, kelak akan melaksanakan hasil putusan MK.

Yang ingin kita tekankan ialah agar peristiwa tersebut tidak terulang di kemudian hari. Pelajaran terpenting dari kasus edit foto cantik itu ialah bahwa secara moral, melakukan ketidakjujuran di mana pun dan kapan pun serta siapa pun pelakunya tidak dapat dibenarkan.

Mengedit foto diri agar terlihat jauh lebih cantik daripada aslinya untuk kepentingan publik jelas termasuk perilaku tidak jujur. Selain tidak jujur terhadap orang lain, tidak jujur terhadap masyarakat, hal itu juga mencerminkan ketidakjujuran terhadap diri sendiri.

Hal yang sama pula mencerminkan kondisi ketidakpercayaan diri dari sang pelaku sehingga ia memiliki kecenderungan untuk terobsesi dalam memoles citra diri secara berlebihan.

Jika seorang calon wakil rakyat tidak mampu jujur terhadap dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia dapat bersikap jujur kepada konstituen yang telah memilihnya?

Kita berharap di kemudian hari, penyelenggara pemilu dapat lebih cermat dalam mengidentifikasi dan mengeliminasi pola-pola yang sama dalam kesempatan yang berbeda.

 



Berita Lainnya