Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
MESKI 22 Mei sudah dijadikan target teroris dan pengerahan massa, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan tetap mengumumkan hasil Pemilu 2019. KPU hanya patuh pada perintah undang-undang, tidak tunduk pada tekanan massa dan ancaman teroris sekalipun.
Perintah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ialah KPU harus menetapkan perolehan suara pemilu paling lambat 35 hari setelah pemungutan suara atau pada 22 Mei 2019. Karena itulah, pada 22 Mei, KPU tetap menggelar rapat pleno penetapan hasil pemilu yang sudah dilaksanakan pada 17 April.
KPU sama sekali tidak gentar dengan adanya ancaman teroris dan pengerahan massa yang dikemas dalam bungkusan Tur Jihad Jakarta. Teror dan demo tidak bisa mengubah suara pemilih yang diberikan di bilik suara. Ironisnya, pengerahan massa itu hanya terkait dengan hasil pilpres, hasil pileg sama sekali tidak digugat.
Sejauh ini, berdasarkan hasil sementara rekapitulasi nasional pilpres di 29 dari 34 provinsi ataupun data yang masuk pada Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU yang sudah memasuki angka hampir 90%, pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul atas paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden mestinya berlapang dada menerima kemenangan ataupun kekalahan. Tidak perlu mengerahkan massa untuk mengubah hasil pemilu. Apalagi sebelum pemilu telah meneken deklarasi siap menang dan siap kalah.
Seorang pemimpin politik yang merangkap sebagai negarawan mestinya mampu membujuk pengikutnya untuk menerima hasil pemilu. Jangan sekali-kali membiarkan, apalagi mengajak pengikut untuk berdemonstrasi menolak hasil pemilu.
Persoalan utama bangsa ini pada hari-hari ini ialah justru para pemimpin politik yang menggagas people power yang kemudian berganti nama menjadi gerakan kedaulatan rakyat. Hakikatnya tetap sama, mengerahkan massa untuk menolak hasil pemilu.
Benar bahwa demonstrasi sebagai ekspresi kebebasan menyatakan pendapat di muka umum sepenuhnya dijamin konstitusi. Akan tetapi, demonstrasi menolak hasil pemilu bukanlah pilihan cerdas karena konstitusi juga membuka ruang untuk menyelesaikan perselisihan secara beradab di Mahkamah Konstitusi.
Pasangan capres-cawapres yang notabene pemimpin politik sekaligus negarawan mestinya menempuh jalur konstitusi, jangan pura-pura tidak tahu atau malah diam-diam menunggangi demonstrasi untuk meraih kekuasaan.
Pengerahan massa pada 22 Mei bukan pilihan bijak sebab Polri sudah mengendus kuat dugaan jaringan teroris kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) akan memanfaatkan momentum itu untuk melakukan teror. Karena itulah, Mabes Polri mengimbau masyarakat untuk tidak turun ke jalan atau bergerombol saat pengumuman rekapitulasi hasil Pemilu 2019.
Harus tegas dikatakan bahwa Polri punya dasar yang sangat kuat untuk mengimbau masyarakat tidak turun ke jalan. Berdasarkan pengakuan 29 tersangka teroris yang ditangkap sepanjang Mei, mereka merencanakan aksi amaliah dengan menyerang kerumunan massa pada 22 Mei menggunakan bom dan senjata.
Terus terang, telah pupus harapan terhadap pasangan capres-cawapres yang sudah ngebet kekuasaan untuk menghentikan demonstrasi. Masih ada harapan kepada masyarakat, terutama pendukung para pasangan capres-cawapres, agar memikirkan betul-betul setiap tindakan. Jangan mengambil langkah konyol, apalagi bodoh, di tengah kelompok-kelompok penumpang gelap yang mengambil kesepatan momentum 22 Mei sebagai ajang membuat kekacauan.
Kebangkitan Nasional yang diperingati pada hari ini hendaknya memperkukuh persatuan yang dilandasi semangat persaudaraan. Hasil pemilu yang diumumkan 22 Mei bukan untuk membelah persatuan sekalipun diwarnai ancaman teroris dan demonstrasi. Seluruh jajaran TNl-Polri tetap solid bersatu menghadirkan rasa aman di tengah masyarakat.
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved