Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Tolak Pansus Pemilu 2019

11/5/2019 05:00

KUBU Prabowo Subianto-Sandiaga Uno benar-benar ogah mengaku kalah. Segala cara mereka lakukan demi menjaga harapan yang sebenarnya hanyalah melawan kemustahilan.

Pemenang Pilpres 2019 memang baru akan ditetapkan Komisi Pemilihan Umum pada 22 Mei nanti. Namun, jika kita mengedepankan akal sehat dalam mencermati perkembangan, siapa yang akan memimpin negeri ini hingga lima tahun ke depan secara gamblang sudah kelihatan.

Pemenang Pilpres 2019 bahkan sudah ketahuan beberapa jam sesuai pencoblosan 17 April silam tatkala lembaga-lembaga survei tepercaya memublikasikan hasil hitung cepat mereka bahwa pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin tampil sebagai juara. Hasil quick count itu pun selaras dengan real count di Sistem Informasi Penghitungan Suara atau Situng KPU.

Hingga kemarin, ketika data yang masuk sudah mendekati 80%, Jokowi-Amin tetap unggul jauh di atas Prabowo-Sandi. Keunggulan suara mereka 12% lebih, jumlah yang mustahil bisa dimbangi, apalagi dilewati. Artinya, secara de facto Jokowi-Amin dipastikan berjaya dan tinggal de jure untuk melegalkannya.

Pada situasi seperti itu sejatinya pertandingan sudah selesai. Namun, kubu Prabowo-Sandi tetap kukuh merawat harapan kemenangan. Segala taktik dan strategi dilancarkan untuk menjaga impian yang tak mungkin menjadi kenyataan.

Secara informal, meski mengklaim sebagai pemenang, mereka gencar memviralkan lewat media sosial seabrek tuduhan bahwa pemilu tahun ini penuh kecurangan. Narasi delegitimasi penyelenggaraan dan penyelenggara pemilu, bahkan sudah ramai disuarakan sebelum pemilu dihelat.

Secara formal, mereka juga memboyong tudingan-tudingan itu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Belum cukup, siasat teranyar mulai mereka susun di jalur politik dengan usulan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Penyelenggaraan Pemilu 2019. Usulan itu diinisiasi anggota DPR dari dua partai pendukung utama Prabowo-Sandi, PKS dan Gerindra.

Sebagai inisiator, anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa mengklaim sudah 31 anggota DPR dari tiga fraksi yang meneken usulan hak angket dan pembentukan pansus. Jika benar, dari sisi prosedural, pengajuan usul hak angket sudah memenuhi syarat, yakni paling sedikit 25 tanda tangan anggora dewan dari dua fraksi. Namun, dari sisi substansi, harus kita tegaskan bahwa usulan itu jauh dari kebutuhan.

Tiada alasan yang bisa dijadikan pembenaran untuk membentuk Pansus Penyelenggaraan Pemilu 2019. Betul bahwa perhelatan pemilu yang untuk kali pertama menyerentakkan pilpres dan pileg itu tak sempurna. Akan tetapi, kendati masih banyak kekurangan yang terjadi, mesti kita akui pemilu terlaksana dengan baik dan memenuhi kaidah-kaidah demokrasi.

Usulan pembentukan pansus kian tak relevan karena proses pemilu masih berlangsung. Lagi pula, kalau toh ada permasalahan, ada mekanisme dan saluran untuk mempersoalkan. Terkait dengan proses pemilu, misalnya, mereka yang merasa dirugikan bisa mengadu ke Bawaslu. Terkait dengan hasil, mereka yang merasa dicurangi dapat menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

Itulah rule of the game, itulah aturan perundangan yang sengaja dibuat juga oleh fraksi-fraksi yang kini ngotot membentuk pansus untuk mengawal agar kompetisi tak berjalan serampangan.

Berulang kali melalui forum ini kita mengingatkan pentingnya kedewasaan dalam berpolitik agar demokrasi kita semakin berkelas. Bernafsu membentuk pansus, sedangkan pemilu masih berproses ialah bentuk kekanak-kanakan dalam berdemokrasi. Bernafsu membentuk pansus yang notabene menegasikan rule of the game yang mereka buat ialah tabiat amat buruk dalam berkontestasi.

Pansus Penyelenggaraan Pemilu 2019, selain tak dibutuhkan, juga tak akan mengubah peta dan hasil pemilu. Kubu 02 mengusulkannya tak lebih dari sekadar upaya untuk memengaruhi persepsi publik bahwa mereka kalah karena dicurangi sehingga mutlak ditolak.

 



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik