‘SURGA’ narkoba belum juga hilang dari Indonesia. Bahkan, peredarannya sampai ke lingkaran elite politik.
Yang teranyar ialah penangkapan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief terkait dengan narkoba pada Minggu (3/3). Andi ditangkap di sebuah hotel di kawasan Slipi, Jakarta Barat.
Dari hasil pemeriksaan, polisi menyebutkan bukan baru kali ini politikus yang kerap membuat pernyataan kontroversial tersebut menggunakan narkoba. Dari hasil tes urine terlihat bahwa Andi telah beberapa kali menjadi pemakai.
Terjeratnya para elite di kasus narkoba sesungguhnya juga bukan hal baru. Sudah banyak petinggi partai, anggota legislatif, dan kepala daerah yang ditangkap karena terjerat narkoba.
Lalu apa makna kondisi ini bagi Indonesia? Satu hal yang jelas ialah kekuatan dan masifnya para bandar narkoba. Bangsa ini sesunguhnya berada dalam situasi darurat narkoba sehingga diperlukan upaya serius untuk mengatasinya.
Upaya jajaran pihak berwenang dalam memerangi narkoba memang bukannya melempem. Badan Narkotika Nasional (BNN), misalnya, sepanjang 2018 telah menangani 914 kasus narkotika yang melibatkan 1.355 tersangka. Sementara itu, Polri berhasil mengungkap 33.060 kasus narkotika dengan jumlah tersangka 43.320 orang.
Persoalan yang belum tuntas hingga sekarang ialah penyamarataan perlakuan terhadap pengedar dan pecandu. Itu bukti bahwa penanganan masalah ini masih jauh dari memuaskan. Pengedar dan pecandu sama-sama dimasukkan ke penjara, dan begitu keluar dari penjara, pecandu malah naik kelas menjadi pengedar.
Semestinya, perlakuan terhadap pecandu tidaklah setali tiga uang dengan perlakuan terhadap pengedar. Sudah tepat bila pengedar yang terbukti bersalah dihukum seberat-beratnya dan ditempatkan di penjara narkoba.
Namun, sungguh keliru bila menempatkan pengedar satu atap dengan pecandu. Karena sejatinya pecandu merupakan korban, pasien, sehingga yang tepat bagi mereka ialah diobati di pusat rehabilitasi.
Ketentuan soal rehabilitasi diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Membedakan pengedar dan pecandu hendaknya melewati proses penilaian di BNN. Penilaian itu tidak hanya untuk mencari informasi mengenai ketergantungan pelaku, tapi juga untuk mendalami kemungkinan sumber narkoba itu berasal.
Setelah menyelesaikan proses penilaian itulah baru status hukum seseorang ditentukan. Andi Arief tengah menjalani proses penilaian tersebut.
Jauh lebih bijak bila publik menunggu proses yang tengah berlangsung. Biarkan proses itu dilakukan secara profesional tanpa dibumbui kebencian politik.
Kasus Andi Arief membuktikan bahwa jumlah narkoba yang beredar masih jauh lebih besar sekalipun sudah dilancarkan operasi besar-besaran pemberantasan narkoba. Para bandar yang belum tertangkap pun bisa jadi jauh lebih kakap.
Dengan kondisi darurat narkoba, sudah semestinya perang terhadap para bandar dilakukan lebih keras, termasuk di lingkaran peredaran dan kaki tangan mereka. Pada saat bersamaan, negara tetap memberikan perlindungan kepada pecandu yang menjadi korban.
Bandar narkoba pantas dijatuhi hukuman berat sebab merekalah yang membuat berton-ton racun itu bisa menggurita dari elite hingga ke bocah ingusan.