Headline
RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendukung putusan Mahkamah Konstitusi terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal, dengan berkaca pada tahun politik 2024 yang mencatat angka kematian petugas penyelenggara pemilu masih cukup tinggi.
"Dalam rekomendasi Komnas HAM, berdasarkan pemantauan yang kami lakukan sepanjang 2024, baik pada pilkada maupun pemilu, kami masih menemukan praktik di mana kematian petugas masih cukup tinggi,” kata Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah di kantornya, Jakarta, hari ini.
Komnas HAM mencatat pada Pemilu maupun Pilkada 2024, setidaknya ada 181 orang anggota tim penyelenggara yang meninggal dunia. Jumlah tersebut lebih rendah dibanding Pemilu 2019 yang tercatat sebanyak 894 orang petugas pemilu meninggal dunia.
Maka dari itu, Komnas HAM mendorong penerapan standar keselamatan kerja yang ketat dan pemeriksaan kesehatan serta tanggung jawab negara terhadap pelindungan bagi petugas penyelenggara pemilu.
Anis menyebut Komnas HAM pada Januari 2025 juga telah menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dan DPR terkait catatan tersebut. Secara garis besar, rekomendasi Komnas HAM selaras dengan putusan MK mengenai pemisahan pemilu.
"Salah satu rekomendasi Komnas HAM mendorong tata kelola pemilu yang ramah HAM, dan pemisahan pemilu nasional dan daerah itu adalah salah satu rekomendasi yang memang kami sampaikan kepada pemerintah dan DPR," katanya.
Komnas HAM juga mendorong pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang-undang untuk merumuskan kebijakan yang mengakomodasi putusan MK, terutama dengan merevisi Undang-Undang Pemilu.
Dalam Laporan Tahunan Komnas HAM RI Tahun 2024 bertajuk "Menyuarakan Keadilan dan HAM di Tahun Politik" yang dirilis pada Rabu ini, Anis menyampaikan bahwa lembaganya telah memantau penyelenggaraan pemilu presiden, legislatif, dan kepala daerah di 15 provinsi dan 48 kabupaten/kota.
Selain angka kematian petugas pemilu, Komnas HAM juga mendapati masih adanya diskriminasi terhadap pemilih yang masuk kategori kelompok rentan, mulai dari pendataan hingga akses terhadap informasi dan fasilitas pemungutan suara.
"Kami merekomendasikan penguatan regulasi dan pelatihan sensitif HAM bagi penyelenggara pemilu agar hak pilih warga negara benar-benar dijamin secara setara," ucap Anis.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang turut hadir pada agenda itu menyampaikan apresiasi atas laporan Komnas HAM.
Menurut Yusril, pemerintah terbuka dan menerima kritik dari Komnas HAM, termasuk catatan mengenai persoalan inklusivitas dan hak atas kesehatan penyelenggara dalam pemilu.
"Kami respect (menghormati), kami terima, apa yang dikritik itu hal yang harus kami perbaiki, kami sempurnakan," ucap Yusril.
Mahkamah Konstitusi pada Kamis (26/6) mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada.
Mahkamah memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar dua tahun atau dua tahun dan enam bulan sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
Dalam pertimbangan hukum, MK salah satunya menyoroti pelaksanaan Pemilu 2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.(Ant/P-1)
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2012-2017 itu menilai, putusan MK relevan dengan kebutuhan demokrasi.
Hal tersebut diperlukan agar jalannya perhelatan pemilu mendatang terselenggara dengan lebih baik dan berkualitas demi perbaikan demokrasi Indonesia ke depan.
Pernyataan Puan Maharani soal putusan MK terkait pemisahan pemilu sangat objektif.
MK menghendaki bahwa pemilu yang digelar pada 2029 mendatang adalah pemilu tingkat nasional untuk memilih presiden-wakil presiden, DPD, dan DPR RI.
Puan mengacu pada Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu lima tahunan untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada didorong melalui pembentukan panitia khusus (pansus).
Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir mengesahkan peraturan itu setelah mendapatkan persetujuan saat rapat paripurna DPR RI, Selasa (8/7).
Umbu mengatakan MPR tidak berwenang menafsirkan putusan MK yang nantinya berdampak pada eksistensi dan keberlakuan putusan MK. Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.
Ketua Komisi II DPR itu mengatakan saat ini DPR juga belum menentukan sikap resmi. Soal putusan MK masih jadi topik diskusi antarfraksi.
Rifqi mengeluhkan bahwa isu kepemiluan selalu hadir. Meski pesta demokrasi itu sudah beres
Ketua DPP Partai NasDem itu menilai MK telah melampaui kewenangannya. Padahal, tugas DPR dan pemerintah dalam membentuk norma melalui undang-undang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved