Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Putusan MK Wujudkan Pemilu Ramah HAM

Media Indonesia
30/6/2025 10:15
Putusan MK Wujudkan Pemilu Ramah HAM
Petugas pemungutan suara menghitung logistik pemilu.(Dok.MI)

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan lokal merupakan langkah untuk mewujudkan pemilu yang lebih ramah HAM.

Menurut Komnas HAM, putusan MK ini menjadi representasi kehadiran negara dalam pemenuhan hak hidup dan hak atas kesehatan yang lebih baik bagi petugas pemilu sehingga pengalaman buruk di pemilu sebelumnya tidak terulang.

"Komnas HAM mengapresiasi Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ... Komnas HAM menilai putusan MK ini merupakan langkah progresif untuk mendorong terwujudnya pemilu yang lebih ramah HAM," kata Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam keterangan diterima di Jakarta, hari ini.

Anis menjelaskan bahwa putusan MK tersebut akan membagi beban pekerjaan para petugas pemilu, terutama pada tahapan pemungutan suara oleh petugas tempat pemungutan suara (TPS) sehingga pekerjaannya menjadi lebih terarah dan terukur.

Komnas HAM berkaca dari Pemilu 2019 dan 2024 dengan metode lima kotak, yakni pemilu serentak untuk DPR, DPD, presiden/wakil presiden, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Menurut Komnas HAM, pemilu serentak yang demikian menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka kecelakaan kerja petugas TPS, baik petugas yang meninggal dunia maupun jatuh sakit.

"Pemungutan dan penghitungan lima surat suara pada umumnya berakhir pada pagi hari berikutnya. Petugas pemilu memikul beban kerja yang melebihi batas kewajaran dan dengan waktu istirahat yang sangat terbatas," tutur Anis.

Kondisi tersebut, imbuh dia, diperburuk dengan tingginya tekanan psikis dari pendukung peserta pemilu maupun partai politik serta kekhawatiran terhadap kesalahan teknis yang mungkin terjadi pada saat pemungutan dan penghitungan suara di tingkat TPS.

Maka dari itu, pemisahan pemilu nasional dan lokal dipandang Komnas HAM sejalan dengan pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak karena signifikan akan mengurangi beban kerja petugas pemilu, mendorong waktu kerja menjadi lebih pendek, dan memungkinkan waktu beristirahat yang lebih panjang.

Di sisi lain, Komnas HAM menilai desain pemilu nasional dan lokal akan memberi kesempatan bagi pemilih untuk mendapatkan hak atas informasi kepemiluan yang lebih baik. Dengan desain tersebut, pemilih akan lebih fokus pada isu-isu pusat saat pemilu nasional dan pada isu-isu kedaerahan saat pemilu lokal.

"Hal ini akhirnya akan berkontribusi pada pelaksanaan pemilu yang lebih demokratis, salah satu prasyaratnya adalah pemilih yang terinformasi dengan baik sehingga mampu memilih secara rasional, bukan karena sentimen SARA atau terpapar hoaks," kata Anis.

Sebelumnya, Kamis (26/6), MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024. MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).

Dalam pertimbangan hukum, MK salah satunya menyoroti pelaksanaan Pemilu 2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.

Selain itu, MK juga menyoroti tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional karena pemilu nasional dan lokal digabungkan.

Menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional.(Ant/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik