Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
RESPONS Ketua DPR RI Puan Maharani soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilihan umum (pemilu) tingkat nasional dan lokal dinilai hal yang wajar. Menurut Puan, seluruh partai politik menilai putusan tersebut menyalahi Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilu yang digelar selama lima tahun sekali.
Namun, pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie berpendapat pernyataan Puan tersebut sangat objektif. "Lebih bersifat politis dan parsial," ujarnya kepada Media Indonesia, Selasa (15/7).
Bagi Gugun, putusan MK tersebut sebenarnya tidak menabrak Pasal 22E UUD 1945 yang dijadikan landasan argumentasi Puan bahwa pemilu digelar selama lima tahunan untk memilih presiden-wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Menurut Gugun, putusan MK itu tetap mengamini siklus lima tahunan yang diamanatkan konstitusi. Diketahui, MK mengamanatkan bahwa pada 2029, pemilu yang digelar adalah tingkat nasional untuk memilih presiden-wakil presiden, DPD, dan DPR RI.
Sementara, pemilu tingkat lokal digelar maksimal 2031 untuk memilih kepala daerah, baik gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati/wali kota-wakil wali kota, serta DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
"Bahwa pemilu lokal untuk memilih DPRD provinsi, kabupaten/kota, dan kepala daerah diselenggarakan 2031, itu hanya transisi untuk rekayasa keserentakan, demi memperbaiki kualitas demokrasi," terang Gugun.
Sebelumnya, Puan menyebut semua partai politik memiliki sikap sama terkait putusan MK, yakni pemilu harus sesuai dengan konsitusi yang digelar lima tahunan.
"Jadi, apa yang sudah dilakukan oleh MK menurut undang-undang itu menyalahi Undang-undang Dasar," ujarnya. (P-4)
MK menghendaki bahwa pemilu yang digelar pada 2029 mendatang adalah pemilu tingkat nasional untuk memilih presiden-wakil presiden, DPD, dan DPR RI.
Puan mengacu pada Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu lima tahunan untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada didorong melalui pembentukan panitia khusus (pansus).
Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai 'pemilu lima kotak' tidak lagi berlaku.
Rifqinizamy menjelaskan ada sejumlah hal yang membuat turbulensi konstitusi. Pertama, Pasal 22 E ayat 1 menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun.
REVISI Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dinilai sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri polemik terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal.
WAKIL Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melampaui kewenangan konstitusional karena menetapkan pemisahan pemilu nasional dan lokal
Umbu mengatakan MPR tidak berwenang menafsirkan putusan MK yang nantinya berdampak pada eksistensi dan keberlakuan putusan MK. Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.
Berbagai anggota DPR dan partai politik secara tegas menolak putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 soal pemisahan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved