Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
WAKIL Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto mengungkapkan pemerintah tengah menikmati semangat keserentakan pemilu dan pilkada yang telah dicapai saat ini. Menurutnya, keserentakan itu telah memberikan banyak manfaat dalam hal perencanaan anggaran, dan keselarasan program pusat-daerah sehingga perlu dijaga.
“Padahal, hari ini kita tidak sedang menikmati ikhtiar baru dengan dimensi keserentakan, ada retret kepala daerah tapi tiba-tiba dibenturkan dengan realita yang ada kemungkinan ada pemisahan lagi,” jelasnya dalam diskusi bertajuk Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD pada Minggu, (27/7).
Pengaruhi Penyusunan APBD
Kemudian, Bima menyebut, pemerintah juga bangga dengan adanya keserentakan antara mulainya pemerintahan pusat maupun daerah. Menurutnya, penyusunan APBD lebih mudah dilakukan, untuk menentukan kesamaan tujuan.
“Kita dengan banggnya bilang untuk pertama kalinya kita mulai barengan di sekarang ini, enak nih susun APBD-nya, siklus APBD-nya, perencanaan, bareng lagi sekarang ini. Mari kita samakan semuanya supaya targetnya sama, semuanya begitu,” ujarnya.
Bima menilai akan ada kecenderungan tertentu yang harus diadaptasi oleh pemerintah pusat dan daerah ketika pemisahan pemilu dilakukan, salah satunya akan terjadi inkompatibilitas atau tidak sinkron antara lokal dan nasional.
“Jangan sampai semua itu diuyak-uyak gitu ya, dipukul ratakan semua. Mari kita letakkan tadi, satu, dalam konteks kita membangun sistem partai politik seperti apa, kedua, kepentingan nasional kita, integrasi kita seperti apa,” katanya.
Bima juga menjelaskan bahwa tidak ada sistem politik yang sempurna di dunia ini. Atas dasar itu, revisi UU Pemilu harus dilakukan dengan kehati-hatian dan dilandasi visi kebangsaan jangka panjang.
“Tidak mudah mengelola perbedaan kita di tengah bangsa-bangsa lain yang gagal mengelola (keberagaman). Jadi sistem politik Pemilu kepartaian seperti apa yang akan dirancang itu memperkokoh integrasi bangsa, dan tidak ada sistem politik dalam sempurna, semuanya pasti plus dan minus,” tukasnya.
Selain itu, Bima menilai terdapat respons yang berbeda-beda dari beberapa pihak dalam merespons putusan MK tersebut. Dia mencontohkan, respons dari Anggota DPRD yang riang gembira sebab masa jabatannya akan diperpanjang sebagai imbas pilkada dilaksanakan paling lama 2,5 tahun setelah elemen pemilu nasional dilantik.
“Menyikapi putusan MK itu tentu ada yang riang gembira, teman-teman DPRD misalnya, karena kemungkinan jabatannya diperpanjang,” ucapnya.
Namun, dia juga mengatakan, terdapat beberapa pihak seperti pihak oposisi kepala daerah yang berduka cita atas putusan tersebut sebab masa jabatan kepala daerah kemungkinan akan diperpanjang.
“Itu wajar-wajar saja dampak dari setiap keputusan politik, pasti ada yang diuntungkan dan dirugikan tapi mari kita tarik dalam konteks yang lebih besar daripada sekedar perjuangan untuk kepentingan partisan atau jangka pendek,” ujarnya. (M-1)
Faktor pertama kenaikan PBB adalah semakin tidak terbendungnya pola politik transaksional dan politik berbiaya tinggi dalam Pilkada langsung.
Selama Pilkada 2024, TVRI menayangkan sebanyak 439 debat mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
SEKJEN Partai Gerindra Sugiono merespons usulan gubernur dipilih oleh pemerintah pusat.
KOMITE Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) menolak wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah atau pilkada dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD
Titi Anggraini menyebut pilkada lewat DPRD tidak relevan lagi membedakan rezim Pilkada dan Pemilu setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi atau MK
KETUA Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menyatakan pihaknya jauh lebih dulu mengusulkan agar bupati dan walikota dipilih oleh DPRD
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terhadap 15 perkara pengujian undang-undang.
Tim dari Kemendagri, lanjutnya, melakukan pengecekan dan survei ke lapangan sebagai upaya penyelesaian sengketa. Menurutnya itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
Putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025 selanjutnya akan dibahas lebih lanjut. Ia mengatakan perlu regulasi yang detail untuk menjalankan putusan MK tersebut.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Semua pihak harus berhati-hati dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135 tahun 2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved