Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
WAKIL Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menyatakan bakal ada inkompatibilitas atau ketidaksinkronan antara kebijakan lokal dan nasional apabila putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal diadaptasi.
“Padahal, hari ini kita tidak sedang menikmati ikhtiar baru dengan dimensi keserentakan. Ada retret kepala daerah, tapi tiba-tiba dibenturkan dengan realitas yang ada kemungkinan ada pemisahan lagi,” jelasnya dalam diskusi bertajuk Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kemudian, Bima menyebut pemerintah juga bangga dengan adanya keserentakan mulainya pemerintahan pusat maupun daerah. Menurutnya, penyusunan APBD lebih mudah dilakukan untuk menentukan kesamaan tujuan.
Ia menjelaskan tidak ada sistem politik yang sempurna di dunia ini. Atas dasar itu, revisi Undang-Undang (UU) Pemilu harus dilakukan dengan kehati-hatian dan dilandasi visi kebangsaan jangka panjang. “Mari kita tarik dalam konteks yang lebih besar karena yang perlu kita pastikan ialah jangan sampai kemudian proses revisi UU (pemilu) ini lebih kental terhadap kepentingan jangka pendek atau partisan,” katanya.
Bima menjelaskan, saat ini pemerintah mulai membahas berbagai opsi tindak lanjut putusan MK tersebut, termasuk dampaknya terhadap sistem politik dan kelembagaan daerah. Ia mengatakan pembahasan dilakukan bersama parlemen maupun lintas kementerian.
Menurut mantan Wali Kota Bogor itu, setidaknya ada tiga hal utama yang harus menjadi pegangan bagi pemerintah dalam menyikapi putusan MK dan rencana revisi UU Pemilu.
Pertama, revisi harus memperkuat pelembagaan politik, terutama dalam konteks sistem presidensial dan otonomi daerah (otda). Kedua, penting menempatkan reformasi politik dalam kerangka kepentingan nasional dan arah menuju Indonesia sebagai negara maju dalam tahun-tahun ke depan.
Sebab, lanjut Bima, sistem politik yang tidak selaras dengan target pembangunan nasional bisa menjadi penghambat.
Ia juga menyinggung pentingnya penguatan fungsi partai politik dan pendanaan politik dalam merespons putusan MK. Ia juga menyambut baik wacana penguatan bantuan dana politik, tetapi menekankan pentingnya transparansi dan integritas.
Dalam kesempatan yang sama, pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengajak DPR dan pemerintah untuk tidak lagi membenturkan putusan MK dengan UUD dan segera melakukan pertemuan dengan berbagai pihak, khususnya penyelenggara pemilu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengkaji dan merumuskannya dalam RUU Pemilu dan Pilkada.
“Jangan hanya terpaku pada pembahasan pro dan kontra ideologis terkait konstitusionalis atau tidaknya putusan MK tersebut. Sebab, jika kita terjebak pada perdebatan yang ujung-ujungnya nanti tidak menyentuh akar-akar penting fundamental dari pemilu, ini akan menyebabkan pemilih jadi apatis,” imbuhnya.
Lebih jauh, Titi menekankan DPR harus segera membahas revisi UU Pemilu sebab putusan MK tidak bisa menjadi obat bagi semua persoalan pemilu saat ini. Yang dibutuhkan ialah pendekatan reformasi legislasi. “Sampai saat ini, UU No 7 Tahun 2017 yang dipakai sebagai dasar Pemilu 2019 juga belum diubah untuk Pemilu 2024, sementara sudah banyak dari bagian batang tubuhnya yang diubah oleh putusan MK atau tidak relevan lagi dengan dinamika pemilu di Indonesia,” ucapnya.
Titi juga menjelaskan ada sejumlah UU yang akan terdampak pascaputusan MK terkait dengan pemisahan pemilu nasional dan lokal. Karena itu, diperlukan penyelarasan, penyesuaian, dan penataan segera oleh pembentuk UU.
Beberapa UU yang terdampak, di antaranya UU No 7/2017 tentang Pemilu, UU No 1/2025 tentang Pilkada, UU No 2/2011 tentang Partai Politik, UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, serta UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. “MK hanya memutus satu aspek soal format penjadwalan pemilu. Tapi, aspek-aspek lainnya, walaupun ada di dalam sejumlah putusan MK, tidak termuat dalam format putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah ini,” tukas Titi.
Sementara Partai NasDem menegaskan komitmennya untuk menegakkan konstitusi sebagai hukum tertinggi demi keadilan, kesetaraan, perlindungan hak warga negara, dan cita-cita demokrasi yang adil. Salah satu rekomendasi utama bidang hukum hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai NasDem di Makassar, Sulawesi Selatan, adalah bahwa Putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 tersebut dinilai melampaui kewenangan.
"Partai NasDem menilai putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 adalah ultra vires atau melampaui kewenangannya, karena mengubah norma konstitusi merupakan kewenangan MPR. Dengan demikian, putusan MK batal demi hukum," tegas Ketua Dewan Pakar Partai NasDem Peter Frans Gontha saat membacakan rekomendasi Rakernas I NasDem, di Makassar, Minggu (10/8).
Dalam menyikapi putusan tersebut, NasDem mendesak DPR untuk meminta MPR atau presiden menggelar dialog konstitusional. "Perlu diadakan konsultasi antarlembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945, guna mencari jalan konstitusional bagi terselenggaranya kehidupan nasional yang wajib tunduk dan taat kepada konstitusi," ujarnya.
Peter Frans Gontha juga menegaskan perlunya penataan ulang sistem pemilu guna meningkatkan kualitas kelembagaan DPR. NasDem mendorong penerapan sistem pemilu terbuka yang dimodifikasi dengan pemberian kuota kursi secara proporsional kepada partai politik.
“Dengan model ini, kami berharap kualitas representasi rakyat di DPR semakin baik sekaligus menjaga proporsionalitas perwakilan partai politik,” kata Peter. (LN/P-3)
Masyarakat kini makin sejahtera dan kemiskinan dari tahun ke tahun bisa diturunkan.
DIRGAHAYU Republik Indonesia.
SEKTOR pekerja migran Indonesia (PMI) tengah menghadapi tantangan baru yang semakin kompleks dan mengkhawatirkan.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan komitmennya menjadikan Jakarta masuk jajaran 20 kota global teratas pada 2045.
Pemerintah banyak melakukan sejumlah terobosan untuk membela Palestina yang termasuk pertama mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pembenahan transportasi umum di Jakarta dapat menjadi acuan bagi daerah lain.
PARTAI politik di DPR begitu reaktif dalam merespons Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2025.
WAKIL Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto mengatakan penggunaan teknologi perhitungan suara atau rekapitulasi suara secara elektronik (e-rekap) menjadi hal krusial.
Sejarah ketatanegaraan kita menunjukkan terjadinya inkonsistensi terhadap pelaksanaan pemilihan.
Komisi II DPR siap membahas RUU Pemilu tersebut jika diberi kepercayaan oleh pimpinan DPR. Ia mengatakan Komisi II DPR yang membidangi kepemiluan tentu berkaitan membahas RUU Pemilu.
MELALUI Putusan No 135/PUU-XXII/2024, MK akhirnya memutuskan desain keserentakan pemilu dengan memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved