Headline

Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.

Lebih dari Cuaca, BMKG Hadir di Semua Sektor

Despian Nurhidayat
15/8/2025 05:00
Lebih dari Cuaca, BMKG Hadir di Semua Sektor
Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati di ruang operasional BMKG.(Dok. BMKG)

SEBAGAI negara kepulauan dengan letak geografis yang berada di area Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), Indonesia menjadi negara yang rawan akan berbagai kejadian bencana. Gempa bumi, tsunami, erupsi, hingga berbagai bencana hidrometeorologi menghantui masyarakat di berbagai penjuru Tanah Air.

Dalam menghadapi berbagai potensi bencana tersebut, peran Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjadi sangat krusial. Dengan berbagai teknologi dan bidang keilmuan yang terdapat di dalamnya, BMKG menjadi andalan pemerintah, terutama untuk memberikan layanan Deteksi Dini dan Peringatan Dini Multi-Bahaya Geo-hidrometeorologi, guna mencegah, memitigasi atau mengurangi risiko kejadian bencana.

Bahkan, untuk menjaga keselamatan masyarakat di 25 Negara yang berada di sepanjang Pantai Samudra Hindia dari ancaman bahaya Tsunami Megathrust seperti yang terjadi di tahun 2024, BMKG Indonesia bersama India dan Australia dipercaya dunia untuk mengoperasikan dan menyebarkan Peringatan Dini Tsunami, yang harus disiagakan selama 24 jam 365 hari tiap tahun.

Namun, bukan hanya dalam hal upaya deteksi dini hingga mitigasi bencana. BMKG kini menempatkan diri sebagai lembaga strategis berbasis sains dan teknologi untuk menghasilkan data dan informasi terkait Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, yang menjadi salah satu ujung tombak pembangunan dan kebijakan nasional.

Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati, mengatakan data dan Informasi cuaca, iklim dan geofisika yang cepat, tepat dan akurat serta mudah diakses, menjadi salah satu pilar penting dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, terutama di tengah tantangan perubahan iklim global dan meningkatnya potensi multi-bencana dengan berbagai dampaknya, yang cenderung semakin mengarah ke krisis dan gangguan terhadap keberlanjutan sosial-ekonomi dan lingkungan.

"Informasi iklim dan potensi multi bencana geo-hidrometeorologi sangat penting untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Perubahan iklim sebagai ancaman, itu merupakan jangka panjang. Kita masih punya kesempatan untuk mengelola alam Indonesia secara berkelanjutan," kata Dwikorita dalam wawancara dengan Media Indonesia, Sabtu (9/8).

Ia mengatakan, BMKG memiliki peran sebagai garda depan penyedia data cuaca dan iklim strategis yang menopang sektor pangan, energi, air, serta sektor infrastruktur dan lingkungan, sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

“BMKG memproduksi data dan prakiraan cuaca dan iklim jangka pendek, menengah, dan panjang yang sangat penting untuk perencanaan musim tanam, irigasi, serta antisipasi gangguan iklim seperti El Nino atau La Nina,” ujar Dwikorita.

Di sektor pangan, informasi iklim BMKG menjadi input utama kalender tanam Kementerian Pertanian. Di sektor air, lembaga ini menjadi wali data Sistem Informasi Hidrologi, Hidrometeorologi, dan Hidrogeologi (SIH3) untuk peringatan dini kekeringan.

Sementara di sektor energi, BMKG menyediakan peta potensi energi surya dan angin untuk mendukung pengembangan energi baru terbarukan.

Data dan prediksi cuaca dan iklim BMKG juga dapat dimanfaatkan untuk menyusun pola tanam, mengantisipasi serangan hama/penyakit tanaman, untuk mencegah terjadinya gagal panen, yang berujung pada kelangkaan bahan pokok pangan dan inflasi. Sedangkan, kajian gempa dan tsunami dapat menjadi dasar perencanaan infrastruktur dan tata ruang, penguatan sektor pariwisata, menjaga kestabilan sektor ekonomi, hingga memastikan keselamatan dan kenyamanan transportasi.

Di sisi lain, BMKG melihat potensi bencana saat ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan suhu bumi menjadi salah satu pemicunya.

Dwikorita mengatakan, sejak tahun 1850 sampai 2024, telah terjadi perubahan suhu yang berdampak pada perubahan cuaca yang sampai saat ini menjadi tidak menentu.

“Setelah tahun 1975-1980, terjadi lonjakan kenaikan suhu dengan sangat drastis. Total kenaikan suhu itu di tahun 2024 sudah mencapai batas kesepakatan dalam Paris Agreement yg seharusnya dicapai pada tahun 2100, yaitu 1,5 derajat celsius” ungkapnya.

Kondisi itu membuat peran BMKG menjadi sangat sentral dalam menopang berbagai kebutuhan pemerintah dan masyarakat di berbagai sektor.

Jaga Ketahanan Pangan

Dampak kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat celsius yang telah tercatat berdasarkan data dari BMKG seluruh dunia yang dikoordinasikan oleh World Meteorological Organization (WMO), telah menyebabkan anomali curah hujan secara global. Kondisi itu membuat kejadian kekeringan dan banjir itu akan terjadi bersamaan di berbagai belahan dunia.

“Bencana kekeringan dan banjir merata di seluruh dunia akibat dari kenaikan suhu yang sudah 1,5 derajat celsius, bahkan beberapa penelitian menyimpulkan, ini disebut kejadian ekstrem ya dan akan makin sering terjadi serta intensitasnya semakin menguat,” jelasnya.

Dwikorita mencontohkan siklus El Nino La Nina sebelum tahun 1970 terjadi setiap 7 tahunan. Namun setelah tahun 1980, keduanya terjadi antara 3 sampai 5 tahunan.

“Bahkan setelah tahun 2020, La Nina itu terjadi setiap tahun. Tahun 2020, tahun 2021, tahun 2022, terjadi setiap tahun. El Nino ini kira-kira setiap 4 tahun, padahal dulu itu 7 sampai 10 tahun. Jadi siklus anomali yang ekstrem, El Nino itu adalah kering yang ekstrem, sehingga banyak terjadi kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, ketahanan pangan terganggu, kita terpaksa harus impor bahan pangan karena mengalami kekeringan,” urai Dwikorita.

Dwikorita menambahkan bahwa Food and Agriculture Organization (FAO) sejauh ini telah menggunakan data dari WMO atau organisasi meteorologi dunia untuk memetakan tingkat kerawanan negara dalam menghadapi ketahanan dan keamanan pangan.

“Diprediksi pada 2050 sebanyak 500 juta petani yang menghasilkan 80% sumber pangan dunia akan terdampak kekeringan. Lalu Indonesia masa depan bagaimana? Kerawanannya menengah. Diprediksi karena kondisi iklim tadi dan dampak dari perubahan iklim yang mengakibatkan bencana semakin sering terjadi, kekeringan semakin sering terjadi,” ujar Dwikorita.

“Kondisi itu akan membuat munculnya gangguan ketahanan pangan dan bisa menuju ke kelangkaan pangan. Indonesia masa depan itu memang benar-benar harus swasembada pangan. Karena krisis pangan itu global,” lanjutnya.

"Jadi perlu kita sadari bahwa dampak kenaikan suhu hingga mencapai 1.5 derajat Celcius tersebut sangat membahayakan bagi keberlanjutan Lingkungan Hidup dan Peradaban manusia di planet bumi ini," katanya.

Selanjutnya Dwikorita mengatakan, BMKG telah menganalisis dan memprediksi dengan skenario terburuk (yang mengasumsikan kegagalan dalam upaya mitigasi perubahan iklim), menunjukan bahwa Indonesia di tahun 2100 diprediksi akan mengalami kenaikan suhu sampai 3,5 derajat celsius dibandingkan sebelum revolusi industri. Artinya dengan kenaikan suhu yang diprediksi dapat mencapai 3.5 derajat celcius ini, tentunya akan memberikan dampak yang lebih dahsyat terhadap Lingkungan Hidup dan Peradaban kita

Lindungi dari Gejolak Politik

Selain itu, kejadian El Nino dan La Nina juga dikatakan memiliki korelasi dengan gejolak sosial politik. Seperti pada tahun 1959 ketika terjadi Dekrit Presiden, diawali dengan kejadian El Nino Moderat.

“Kemudian pada 1965 terjadi G30S PKI juga diawali dengan kejadian El Nino Moderat, dilanjutkan dengan kejadian pada 1974 peristiwa Malari terjadi juga diawali dengan kejadian El Nino. Selanjutnya pada 1984 terjadi Penembakan Misterius (Petrus) dan kasus Tanjung Priok diawali dengan El Nino yang kuat, hingga pada Pilkada Serempak 2015-2016 terjadi El Nino yang juga sangat kuat, namun Alhamdulillah berkat info dini dari BMKG tentang El-Nino yang secara empiris berkorelasi dengan potensi dampaknya terhadap gangguan stabilitas sosial politik, maka gejolak sosial politik yang dikhawatirkan dapat dihindari," tuturnya.

Belajar dari sejarah tersebut, di sini BMKG memiliki peran penting untuk ikut menjaga negara dari potensi gejolak politik yang muncul akibat pengaruh fenomena iklim.

Dengan data yang sangat melimpah dan selama puluhan tahun tersebar di seluruh wilayah untuk dianalisis, BMKG bisa memetakan langkah terbaik yang bisa dilakukan untuk memastikan Indonesia terlindungi dari dampak buruk fenomena cuaca, iklim, dan geofisika, salah satunya krisis pangan.

BMKG saat ini tengah berinovasi untuk dapat memprediksi prakiraan iklim yang dapat berpengaruh terhadap kejadian bencana ataupun kondisi sosial ekonomi dan lingkungan untuk 6 bulan sampai 1 tahun sebelum hal itu terjadi.

“Kami juga sudah membina petani sejak 2011 dan nelayan sejak 2016. Sehingga BMKG ke depan, Insya Allah kami siap untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman krisis pangan. Terutama peran kami adalah memberikan advice atau informasi, rekomendasi terkait bagaimana cara beradaptasi dengan kondisi iklim, bahkan merekayasa kalau kita sudah tahu lebih dahulu,” ujar Dwikorita.

Fakta-fakta itu disebutnya menjadi gambaran peran strategis di berbagai sektor. Bukan hanya dalam hal prakiraan cuaca dan bencana, tetapi luas dalam mendukung keamanan, kemajuan, dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Pun demikian, peran BMKG seyogyanya dapat dirasakan oleh multi sektor, di mana BMKG tidak hanya berfokus pada keselamatan masyarakat dari bencana saja namun juga memiliki peran penting dalam kesejahteraan bangsa. Seperti mendukung keberhasilan ketahanan dan swasembada pangan, ketahanan energi, air, dan infrastruktur.

Serta BMKG memegang peranan penting dalam memastikan keselamatan dan kenyamanan transportasi dan konektivitas, pariwisata, keberlanjutan lingkungan, pertahanan, perekonomian, sektor kesehatan, dan lainnya.

Menyambut 80 tahun Indonesia dan untuk menghadapi Indonesia emas, Dwikorita mengatakan, BMKG siap untuk ikut berkontribusi menjaga keselamatan dan perlindungan segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

“Peran BMKG itu sangat vital dengan data dan analisis BMKG untuk semua sektor. Itu pesan yang perlu kami sampaikan dan kami siap untuk berkolaborasi,” pungkasnya.

Kunci Pembangunan Berkelanjutan

Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, salah satu program BMKG dalam penyebaran informasi iklim ialah Sekolah Lapang Iklim (SLI). Program tersebut melatih petani dan penyuluh memahami serta memanfaatkan informasi iklim. Selama 14 tahun terakhir, SLI telah menjangkau 34 provinsi dan meningkatkan pemahaman peserta terhadap informasi iklim sebesar 20–30%.

“Program ini mampu meningkatkan produktivitas rata-rata 30% untuk beberapa komoditas pertanian dan hortikultura,” ucap Ardhasena.

Keberhasilan SLI di sejumlah daerah bahkan membuat program ini diadopsi menjadi program lokal oleh dinas pertanian, dengan dukungan pembiayaan dari pemerintah daerah.

Dengan modal teknologi canggih, jejaring observasi luas, dan SDM terlatih, ia optimistis di usianya yang sudah 78 tahun saat ini, BMKG dapat menjadi pusat solusi adaptasi perubahan iklim dan mitigasi risiko nasional. “Harapan kami, informasi iklim tidak hanya dipahami, tetapi benar-benar dimanfaatkan masyarakat dan pemerintah untuk membangun Indonesia yang tangguh dan berkelanjutan,” tutup Ardhasena.

Inovasi Operasi Modifikasi Cuaca (OMC)

Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG, Tri Handoko Seto mengatakan, saat ini salah satu inovasi penting lain yang dimiliki oleh BMKG adalah Operasi Modifikasi Cuaca (OMC). OMC digunakan untuk memitigasi bencana hidrometeorologi baik basah maupun kering.

Seto menjelaskan, bencana hidrometeorologi basah seperti banjir dan longsor diantisipasi dengan mengurangi curah hujan sebelum hujan lebat terjadi. Sehingga eskalasi bencana dapat dikurangi ataupun dicegah.

"BMKG bersama stakeholder melakukan rapid assessment untuk memperkirakan potensi banjir atau longsor. Jika risikonya tinggi, operasi modifikasi cuaca dilakukan untuk mengurangi curah hujan. Dengan begitu, eskalasi bencana bisa dikurangi atau bahkan dicegah," ucapnya.

Sementara itu, pada bencana hidrometeorologi kering seperti kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), OMC dilakukan untuk membasahi lahan gambut agar tetap basah dan sulit terbakar.

OMC pun memiliki metode yang sangat beragam. Untuk mengurangi curah hujan, BMKG dapat memicu hujan di laut sebelum awan masuk wilayah rawan banjir seperti Jakarta, sehingga intensitas hujan di darat berkurang.

Sedangkan, untuk menambah hujan, awan-awan akan diberikan bahan untuk disemai yang disebarkan dengan pesawat, sehingga hujan yang awalnya ringan bisa menjadi lebih lebat di lokasi target. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya