Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SUDAH sekitar seperempat abad usia desentralisasi di Indonesia berjalan sejak pertama kali digulirkan melalui pengesahan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Akan tetapi, komitmen pelaksanaan dan pengawasannya belum berjalan secara optimal dan masih terjadi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Presiden Institut Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan, mengatakan setelah seperempat abad, kebijakan desentralisasi di Indonesia kini perlu dikaji ulang secara kritis dan diarahkan ulang secara strategis, terutama saat ini kondisinya justru mengalami re-sentralisasi atau de-otonomisasi.
“Sentralisasi itu merambah tidak hanya di bidang administrasi, tetapi juga masuk ke ranah politik,” katanya dalam diskusi Peringatan 25 Tahun Desentralisasi bertajuk ‘Refleksi Multi-Level Governance dalam Desentralisasi di Indonesia’ yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia pada Rabu (11/6).
Djohermansyah melihat bahwa 25 tahun pasca ptonomi daerah, justru yang terjadi adalah banyak penarikan-penarikan aturan perundangan ke pemerintah pusat baik dalam secara administrasi, birokrasi, fiskal hingga politik.
“Kelemahan-kelemahan desentralisasi fiskal juga sudah terjadi Jadi secara menyeluruh tidak hanya administrasi, juga di bidang fisika dan politik,” ujarnya.
Djohermansyah menjelaskan pembentukan otonomi daerah dapat membawa kondisi kemandirian bangsa, demokratisasi pemerintahan, efisiensi, dan efektivitas administrasi pemerintahan yang berujung pada kesejahteraan masyarakat.
Akan tetapi, pemerintah pusat kerap kali menganggap proses otonomi daerah untuk menciptakan sistem pemerintahan multilevel yang baik sebagai suatu yang instan.
“Salah satu persoalan multilevel sekarang yang paling mendasar itu adalah, provinsi diberi kewenangan sebagai wakil pusat tambahan, tidak hanya sebagai pemimpin pemerintahan daerah. Lalu, sebagai wakil pusat, pemerintah pusat tidak ,enyokongnya dengan penuh,” tukasnya.
Menurut Djohermansyah, agar pemerintahan yang tersusun multilevel bisa berjalan dengan baik, pemerintah perlu membangun tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, efisiensi, inovasi, kepemimpinan dan integritas, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan evaluasi.
Selain itu, Djohermansyah menuturkan inkonsistensi pemerintah pusat dalam menyerahkan kewenangan daerah kepada gubernur sebagai wakil pusat justru sekali kali menjadi potensi masalah. Sebab, tak jarang pemerintah pusat langsung berkoordinasi dengan walikota/bupati dan melewatkan posisi gubernur sebagai wakil pusat di daerah.
“Mungkin ini terjadi karena ada kepentingan tertentu, bisa jadi karena relasi sesama partai, antara menteri dengan bupati/walikota tertentu. Itu dikeluhkan oleh kepala daerah di kabupaten kota dan oleh gubernur. Jadi ada wali kota-bupati yang tidak dapat akses, ada juga gubernur yang merasa dilangkahi,” imbuhnya.
Selain itu, salah satu kendala pemerintahan multilevel yakni adanya dampak politik tingkat lokal. Dikatakan bahwa persaingan elektoral cenderung membuat koordinasi dan komunikasi pemerintah di daerah menjadi buruk.
“Ada gubernur yang maju melawan bupati petahana. Kemudian, bupatinya kalah sebagai gubernur tapi tetap jadi bupati di situ, lalu gubernurnya yang menang, atau sebaliknya. Dan itu akan membuat relasinya menjadi berantakan karena ini lawan politik yang menjadi pesaing,” ungkap Djohermansyah.
Ada pula beberapa kepala daerah (bupati, wali kota) yang tidak mau tunduk kepada perintah gubernur karena adanya perbedaan aliansi politik. Menurutnya, tensi politik juga sangat mempengaruhi penerapan multi level pemerintahan.
“Ada bupati/wal ikota yang tidak tunduk dan taat kepada gubernur. Jadi arahan gubernur tidak dijalankan oleh bupati/wali kota. Dan bahkan bupati/wali kota menantang gubernurnya secara terbuka di forum publik,” tutur Djohermansyah.
Selain itu, Djohermansyah menilai banyak kebijakan pusat juga sulit dipahami dan diterapkan di daerah, karena ketiadaan perwakilan kementerian teknis di daerah serta lemahnya koordinasi antara kementerian/lembaga dan Kementerian Dalam Negeri.
“Termasuk juga bagaimana pemerintah pusat bisa menjalankan program kemiskinan, stunting, MBG, dan lainnya ke bawah. Namun hal itu tidak melibatkan para perangkat di daerah. Jadi pusat mau membangun sendiri unit-unitnya di daerah, pasti costnya mahal dan pemda sering kali tidak dilibatkan,” imbuhnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Irfan R.Maksum menyoroti pentingnya penyempurnaan sistem pemerintahan terkait otonomi daerah agar pemerintah pusat dan daerah saling berinteraksi dan berbagi tanggung jawab.
“Kita harus bisa meluruskan instrumen pemerintahan dan pembagian urusannya. Sehingga daerah jelas mau melakukan apa dengan ide-ide lokalnya. Kita tidak bisa menyamakan speed up frekuensi antar daerah-daerah otonom,” katanya.
Selain itu, Irfan menilai 25 desentralisasi di Indonesia justru tidak bergerak maju, melainkan cenderung menuju sentralisasi. Ini menurutnya, dilihat dari kekuasaan dan pengambilan keputusan politik, ekonomi, dan sosial yang tidak semakin terdistribusi ke daerah-daerah, tetapi justru terkonsentrasi kembali di tangan pemerintah pusat
“Misalnya di bidang birokrasi, pengangkatan kepala dinas justru butuh izin pemerintah pusat, itu sangat sentralisasi. Jadi kalau ngukur multi-level government dengan acuan Uni Eropa di Indonesia, itu tidak akan terjadi multi-level governance karena semua ditarik dan diarahkan ke pusat,” pungkasnya. (P-4)
Program pembangunan itu harus 60% pada tingkat kabupaten/kota, 20% provinsi dan 20% pusat. Namun, sayangnya, menurut Bursah sampai saat ini pembangunan di daerah masih dikendalikan pusat.
DIRJEN Otonomi Daerah Akmal Malik menyebut perlu penguatan desentralisasi pada program-program strategis nasional, seperti Sekolah Rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih.
Nilai-nilai otonomi yang dimiliki oleh daerah tidak semuanya menghasilkan harapan yang sama bagi daerah.
Otonomi daerah sejatinya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan.
Dikatakan selama dua dekade ini, lebih dari 400 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah terkena kasus hukum.
KEWENANGAN pengelolaan energi dan sumber daya mineral termasuk pemberian izin tambang, yang kini berada di tangan pemerintah pusat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara Polri Yudi Purnomo Harahap mengatakan kegiatan sosialisasi dilakukan pada Rabu (30/4) di kantor Bupati Purworejo.
Asbanda dan Bank Papua menggelar Seminar Nasional bertajuk “Implementasi Elektronifikasi Transaksi Melalui Aplikasi Sistem Pembayaran dalam Mendukung Program Pemerintah Daerah
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, pelayanan publik yang prima, dan kesejahteraan masyarakat yang merata, diperlukan pelaksanaan otonomi daerah yang efektif.
Tito usai apel gelar pasukan Operasi Ketupat 2025 di Surabaya, Kamis (20/3) menekankan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah, kepolisian, dan pemangku kepentingan lain.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved