Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PEMERINTAH diduga berupaya memperluas jabatan bagi militer melalui Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Terdapat beberapa klausul dalam beleid tersebut yang diinduksi kuat akan mengembalikan Dwifungsi ABRI seperti pada Masa Orde Baru.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menjelaskan ada sejumlah masalah dalam RUU TNI. Antara lain perluasan peran TNI dan alat negara yang fokus di bidang pertahanan, pencabutan kewenangan Presiden untuk mobilisasi, perluasan jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan jabatan sipil yang tertuang dalam pasal 7.
“Dalam revisi UU TNI yang sekarang diajukan ke DPR, harus dikritisi betul terkait perluasan operasi militer selain perang, khususnya pada ranah sipil. Hal itu harus mendapatkan perhatian ketat,” kata Halili kepada Media Indonesia pada Selasa (18/2).
Menurutnya, perluasan kewenangan TNI dari alat negara di bidang pertahanan yang berpotensi meluas menjadi alat negara di bidang keamanan negara merupakan isu yang paling krusial. Dikatakan bahwa perluasan fungsi TNI menjadi alat keamanan negara juga akan berdampak pada kerancuan tugas-tugas TNI yang tidak sesuai dengan tujuannya.
Selain itu, ketentuan itu juga akan membuka potensi migrasi perwira tinggi TNI mengampu jabatan sipil, mengingat luasnya ruang lingkup jabatan ASN yang boleh atau bisa ditempati oleh militer aktif. Ditambah lagi regulasi di luar UU 34/2004 yang memberikan peluang bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil di luar yang diatur di dalam UU TNI itu sendiri.
“Soal OMSP penting karena pada bagian itu, kita mesti menilai akuntabilitas TNI terhadap otoritas sipil itu sejauh mana, kalau terlalu besar maka sebenarnya TNI itu sudah merambah sangat dalam pada wilayah-wilayah sipil yang itu sebenarnya apa namanya secara struktural itu menjadi pelembagaan dari dwifungsi TNI,” imbuhnya.
Dengan menambah peran sebagai alat keamanan, Halili menilai TNI akan terlibat pada ancaman atau gangguan dari dalam negeri, misalnya menghadapi masyarakat sipil. Selain itu, RUU tersebut juga menghapus kewenangan Presiden untuk mengerahkan TNI sehingga dapat bergerak sendiri tanpa otorisasi dari pemimpin politik sipil nasional dalam pengerahan pasukan.
“Saya khawatir revisi dalam undang-undang TNI ini hanya melegitimasi perluasan kedudukan TNI yang selama ini sudah dilakukan terutama oleh Presiden Prabowo,” tukasnya.
Sebelumnya, RUU TNI diusulkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2025-2029 di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Usulan itu disampaikan Komisi I DPR dalam rapat koordinasi para pimpinan komisi di rapat Baleg DPR, Selasa (12/11). RUU TNI diusulkan bersama RUU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
“Komisi I telah menyampaikan kepada Baleg, yaitu RUU masuk prolegnas jangka menengah 2025-2029 sebagai berikut; a. RUU atas perubahan perubahan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; b. RUU atas Perubahan UU Nomor 34 Tahuh 2004 tentang TNI,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR, Anton Sukartono dalam rapat. (Dev/P-3)
KOALISI Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan telah melakukan pertemuan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad dan Komisi I DPR RI untuk membahas revisi UU TNI.
SARIKAT Buruh Muslimin Indonesia (DPP Konfederasi Sarbumusi) menyayangkan ngototnya DPR dan pemerintah dalam upaya melakukan revisi UU TNI.
Fraksi PKB DPR RI menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, persetujuan itu dibarengi dengan enam syarat.
Pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI di paripurna Kamis, 20 Maret 2025. Revisi beleid itu sudah diambil keputusan tingkat di Komisi I DPR.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menjelaskan koalisi masyarakat sipil dan DPR sepakat untuk menolak lahirnya kembali dwifungsi TNI melalui revisi UU TNI.
Saat ini terdapat pembahasan wacana pengaturan penugasan TNI dari 10 kementerian lembaga menjadi 16.
Ini menunjukkan ruang berekspresi di Indonesia semakin menyempit dan menandakan masalah dalam demokrasi
Kegagalan untuk memisahkan penegakan hukum (urusan dalam negeri) dan urusan pertahanan adalah langkah nyata membangkitkan dwifungsi TNI itu sendiri
Hariman Siregar menyampaikan bahwa pertemuan mereka hari ini memiliki kesamaan tanggal dengan jatuhnya Soeharto dari Presiden ke-2.
Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menyoroti, pemerintah saat ini justru menempatkan terduga pelanggar HAM berat pada posisi strategis di lingkaran elite dan politik nasional.
Program Unggulan Orde Baru untuk Ekonomi Nasional. Jelajahi program Orde Baru, stabilisasi ekonomi, Repelita, dan dampaknya bagi pembangunan nasional Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved