Dua dari Sembilan Hakim MK Menolak Penghapusan Presidential Threshold

Devi Harahap
02/1/2025 20:57
Dua dari Sembilan Hakim MK Menolak Penghapusan Presidential Threshold
Suasana ruang MK di momen sidang penghapusan presidential threshold.(Dok. Antara)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah memutuskan gugatan perkara pengujian konstitusionalitas ketentuan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu inkonstitusional.

MK pada putusannya, mengabulkan gugatan yang dilayangkan Enika Maya Oktavia dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, Kamis (1/2). Atas dasar itu, MK secara resmi menghapus presidential threshold 20% menjadi 0%.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi amar putusan yang dibacakan Ketua MK, Suhartoyo di Gedung MK.

Pada poin putusan berikutnya Suhartoyo menyatakan bahwa pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah secara nasional.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan norma Pasal 222 dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK sekaligus memerintahkan agar putusan mereka dimuat dalam berita negara sebagaimana mestinya.

Pada kesempatan itu, dua dari sembilan hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic dinyatakan memiliki pendapat berbeda soal penghapusan presidential threshold itu. Menurut Suhartoyo, keduanya menyatakan pemohon tak memiliki legal standing.

Berdasarkan penelusuran melalui website resmi MK, selain gugatan bernomor perkara 62, terdapat tiga permohonan gugatan pada kasus yang sama berkaitan dengan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu perkara nomor 87, 101,129/PUU-XXI/2023.

Perkara 87 dimohonkan Dian Fitri, Muhammad S Muchtadin, Muhammad Saad. Sementara perkara 101 diajukan oleh yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang dalam hal ini diwakili oleh Hadar Nafis Gumay, dan Titi Anggraini. Yang terakhir perkara 129 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra.

Dalam permohonannya, pemohon menguji Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur soal syarat menjadi peserta pilpres. Dalam pasal itu, pasangan pilpres harus mendapat dukungan dari parpol gabung minimal 20% yang memiliki kursi di DPR RI atau 25% perolehan suara sah nasional.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar pemohon.

“Memerintahkan Pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” sambungnya.

Dalam petitumnya, Pemohon menyatakan pasal 222 UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, melanggar batas open legal policy dan bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon juga menyatakan Presidential Threshold pada Pasal 222 bertentangan dengan moralitas demokrasi. (Z-9)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya