Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
AHLI Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) Jimly Asshiddiqie menyarankan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI segera mengeluarkan peraturan KPU menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pencalonan kepala daerah. Menurutnya KPU dapat berkonsultasi melalui surat saja dengan DPR RI dan pemerintah untuk merevisi Peraturan KPU.
“Ya begitu. Saya sarankan segera saja tetapkan Peraturan KPU pascaputusan MK. Toh kewajiban berkonsultasi sudaj dilaksanakan melalui surat resmi ke DPR dan Pemerintah. Sedangkan untuk jadwal Rapat Dengar Pendapat (RDP) sudah mepet dan kayaknya tidak mungkin sebelum Senin (26/8),” ujar Jimly melalui keterangan tertulis, Kamis (22/8).
Baca juga : KPU Takut Kena Sanksi Jika Langsung Terapkan Putusan MK
Menurutnya untuk menenangkan keadaan, sebaiknya KPU sudah mengeluarkan Peraturan KPU yang baru. Jimly menyebut Jumat (23/8) atau Sabtu (24/8) sudah ditetapkan Peraturan KPU sebagai tindak lanjut putusan MK. Sebab, sambung Jimly, Selasa (27/8), pendaftaran calon kepala daerah sudah dibuka.
Baca juga : KPU Konsultasi dengan DPR terkait Putusan MK soal Pencalonan Kepala Daerah
“Asal KPU segera saja keluarkan Peraturan KPU baru sebelum Senin (26/9). Kalau misalnya pengesahan RUU (Pilkada) cuma ditunda tapi tetap disahkan, maka perubahan lagi Peraturan KPU tidak mungkin dilakukan setelah Senin,” paparnya.
Jimly juga menjelaskan apabila revisi dilakukan, UU Pilkada hanya dapat diterapkan mulai pilkada 2029, bukan untuk pilkada November 2024. Melihat gejolak penolakan yang besar dari masyarakat atas revisi UU Pilkada oleh DPR dan pemerintah yang mengabaikan putusan MK, Jimly yakin revisi itu gagal disahkan.
Baca juga : Putusan MK Soal Mantan Koruptor di Pilkada Segera Masuk PKPU
“Dari berita dan pergerakan demo (penolakan revisi) dari seluruh Indonesia, besar kemungkinan DPR tidak akan jadi mengesahkan RUU,” ujar dia.
Baca juga : DPR Pastikan Tidak Ada Pengesahan Revisi UU Pilkada secara Diam-diam
“ Saya sudah kontak KPU & juga DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), Bawaslu untuk saling menguatkan. Untuk menenangkan emosi publik, makin cepat Peraturan KPU keluar makin baik,” pungkas Mantan Ketua MK itu.
MK sebelumnya mengeluarkan dua putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII. Pertama, putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah. Kedua, Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menetapkan usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun saat penetapan calon. Putusan MK mengenai usia minimal calon gubernur dan wakil gubenur dikaitkan dengan upaya pencalonan Putra Presiden Joko Widodo atau Jokowi Kaesang Pangarep yang digadang-gadang akan maju dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah. Namun, saat pendaftaran calon kepala daerah, usia Kaesang belum genap 30 tahun. (H-3)
pemilu nasional dan lokal dipisah, , siapa yang bakal memimpin daerah setelah masa jabatan kepala daerah Pilkada 2024 berakhir?
MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan bahwa mulai tahun 2029, pemilihan umum (pemilu) di Indonesia harus diselenggarakan secara terpisah antara pemilu nasional dan pemilu daerah.
Keputusan MK terkait PHPU kepala daerah pasca-PSU semestinya bisa memberikan kepastian hukum dan terwujudnya ketertiban di daerah.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengusulkan agar ke depannya anggaran penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
DIREKTUR DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati menilai Bawaslu tidak serius dalam menangani proses penanganan politik uang saat PSU Pilkada Barito Utara
Kejadian di Barito Utara menunjukkan adanya permasalahan mendasar terkait pencegahan dan penegakan hukum atas pelanggaran politik uang saat pilkada.
Rifqinizamy menjelaskan ada sejumlah hal yang membuat turbulensi konstitusi. Pertama, Pasal 22 E ayat 1 menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun.
WAKIL Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melampaui kewenangan konstitusional karena menetapkan pemisahan pemilu nasional dan lokal
Umbu mengatakan MPR tidak berwenang menafsirkan putusan MK yang nantinya berdampak pada eksistensi dan keberlakuan putusan MK. Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.
Berbagai anggota DPR dan partai politik secara tegas menolak putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 soal pemisahan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.
DPR memerlukan pijakan yang kuat agar tak bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada saat ini.
Pihaknya bersama dengan beberapa Kementerian/Lembaga juga masih berupaya memetakan implikasi dari putusan MK.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved