Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
KEMULIAAN itu ada, kehormatan juga tak beranjak pergi. Akan tetapi, kata itu tak menyatu dengan para pemiliknya. Ia hanya menjadi harapan yang tak lekas hadir kembali. Noblesse oblige, frase berbahasa Prancis itu mengafirmasi bahwa tugas para pemimpin ialah sebuah keluhuran, sebuah tanggung jawab. Bahwa semakin puncak posisi seseorang, kian tinggi pula tanggung jawab dan kehormatannya. Tingginya posisi, baru berarti, jika tanggung jawabnya yang besar nyata dan terasa.
"Pada ikan, yang busuk dahulu bukan ekornya, tapi kepalanya." Aforisme ini punya makna yang terkoneksi dengan soal tanggung jawab itu. Kepala penentu segala apa yang ada pada raga, pada tubuh. Yang hulu menghela yang hilir. Lokomotif menarik gerbong. Dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara bagi dunia pendidikan, lebih subtil lagi. “Yang di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberikan daya kekuatan." Dalam dunia serdadu: "Tak ada prajurit bersalah. Komandan lah yang bertanggung jawab".
Tanggung jawab komandan, tentu bukan dikandung maksud para prajurit sesuka-suka berbuat, para komandanlah yang menanggung dosa mereka. Justru karena ketika tentara berdarma, bertugas, tak ada yang tak terkait perintah komandan. "Para prajurit itu orang yang tak punya hasrat pribadi. Sebagai prajurit, hampir seluruh hidup kami untuk melaksanakan perintah komandan," kata salah seorang mantan ajudan Presiden Ke-2 RI, HM Soeharto, dalam sebuah obrolan. Saya tertegun ketika ia mengungkap darma yang total prajurit sebagai ‘orang yang tak punya hasrat pribadi’.
Noblesse oblige memang telah lama tak menyatu dengan para pemiliknya. Para pemimpin yang ada pada puncak-puncak jabatan seolah satu hal, tanggung jawab hal lain. Kerinduan kita, rakyat, akan para pemimpin yang punya keluhuran tanggung jawab seperti itu, masih panjang. Di negeri yang amat religius, yang dari megafon-megafon masjid berlomba saling menggemakan azan, tausiah, tadarus; orang-orang berhaji dan berumrah jadi aktivitas ibadah yang kian massif, tapi ahlakul karimah (perilaku mulia) kita justru seperti suara yang melindap di rembang petang. Bagaimana kita menjelaskan seorang menteri agama dan ‘orang-orang alim’ dipenjara karena korupsi?
Kita berkali-kali merasakan ‘kewajiban luhur’ itu direndahkan bukan oleh siapa-siapa, tapi oleh para pemiliknya sendiri. Ketua DPR Setya Novanto ketika menjabat yang melanggar etika, adalah contoh paling nyata pencemaran kehormatan yang mereka sandang. Novanto juga legislator lain yang korup tak hanya tengah menghancurkan kehormatan dirinya, melainkan institusi DPR.
Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar waktu itu contoh yang amat banal, betapa 'wakil Tuhan di muka bumi' berniaga hukum dengan tanpa beban. Wajarlah keadilan tak terdistribusi pada yang benar, tapi pada yang membayar. Hukum jadi mampat karena putusan hakim berdasarkan postulat bisnis: siapa pembayar tertinggi! Para hakim lancung, yang teraktual di Medan, mereka pada galibnya tengah membunuh Sang Themis, Dewi Keadilan dengan mata tertutup, yang mereka muliakan itu.
Lalu, bagaimana pula kita menjelaskan tertangkapnnya legislator dari PDIP, Damayanti Wisnu Putranti, oleh komisi antirasuah? Ini terjadi justru di awal tahun ketika seluruh harapan tengah dibulatkan untuk perubahan. Kasus tersebut hanya meneguhkan seperti begitu banyak kasus korupsi yang dilakukan para pejabat publik lain: tak ada yang jera! Kehormatan mereka yang tinggi, yang disematkan para pemilih, yang kita sebut konstituen, dikalahkan oleh 'libido material' yang terus bergelora. Korupsi menjadi kejahatan 'pelintas batas' aneka predikat manusia. Jika tokoh terpelajar, santun, dan jadi harapan masa depan seperti Ruddy Rubiandini, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, jadi orang rantai karena rasuah, bagaimana kita ‘membahasakan’ yang lain?
Orang boleh berhasrat menjadi apa saja lalu mengambil pendidikan sesuai hasrat itu, tetapi sepanjang dimensi etika dan moral tak menjadi pegangan utama terlebih lagi ketika hukum belum menjerakan para pelaku kejahatan kita memang menjadi apa saja tapi juga dengan cara apa saja, dengan laku apa saja. Kehendak maju, bersaing dalam dunia global, dalam MEA, misalnya, yang di depan mata, noblesse oblige harus kita kembalikan pada para pemiliknya yang sejati. Para pemimpin yang berdedikasi itu.
Kita tak mau negeri ini terus dalam rembang petang. Beberapa tokoh muda yang punya visi dan baru saja terpilih pada pilkada serentak, atau yang lebih dahulu menjabat, juga dalam jabatan apa pun di pemerintahan dan di lembaga negara apa saja, dengan kesadaran ingin mendedikasikan kemampuan terbaik bagi bangsanya, itulah oasis kita. Pada merekalah kita berharap noblesse oblige diteguhkan kembali, hingga kita merasakan ‘gemanya’ yang nyata.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved