Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya. Bahkan, saking luar biasanya, Jokowi dianggap memenuhi syarat sebagai nabi. Enggak salah?
Begitulah realitasnya. Kiranya tak ada pendukung presiden atau mantan presiden negeri ini yang sefanatik pendukung Jokowi. Banyak di antara mereka yang kelasnya tak sekadar pendukung, bukan semata loyalis, melainkan sudah pada tataran pemuja. Yang namanya pemuja, mereka tak pelit memberikan puja puji kepada sang pujaan.
Bolehlah kita tengok deretan kata-kata indah dari para pendukung kepada Jokowi. Ada yang terang-terangan menyebut Pak Jokowi presiden terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Doktor ilmu komunikasi dari Universitas Indonesia Ade Armando, misalnya. Artinya, menurut Ade, Jokowi lebih baik ketimbang Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Masuk akalkah? Itu jadi perdebatan.
Itu belum seberapa. Pak Jokowi bahkan diumpamakan seperti Umar bin Khatab. Umar ialah khalifah kedua dari khulafaur rasyidin atau pemimpin yang bijaksana setelah Nabi Muhammad SAW. Dia dikenal taat kepada Allah SWT, pemberani, adil, sederhana, amanah, dan sangat memperhatikan rakyatnya.
Sanjungan itu terucap pada 2018 dari mulut Rokhmin Dahuri, Ketua DPP PDIP Bidang Kemaritiman. Kata dia, gaya kepemimpinan Jokowi seperti Umar, tak berjarak dengan rakyat, dan selalu peduli dengan kesulitan rakyat. ''Beliau kayak Umar bin Khatab, kan selalu datang ke sana-kemari, menjemput (rakyat),'' begitu Rokhmin bilang kala itu.
Pujian Rokhmin diamini koleganya di banteng moncong putih, Arteria Dahlan. Dia mengapresiasi blusukan Jokowi, termasuk di perkampungan di Sempur, Bogor, untuk memberikan langsung bantuan sembako pada Minggu, 26 April 2020 malam. Dia keras membantah tudingan pihak lain bahwa Jokowi pencitraan. Kata dia, gaya kepemimpinan Jokowi memang egaliter, mirip dengan Umar bin Khatab. Benarkah?
Yang pasti Rokhmin dan Arteria memuji habis ketika saat itu masih sebarisan, tatkala partai mereka belum pecah kongsi dengan Jokowi. Bisa jadi setelah hubungan mereka berantakan, berantakan pula pandangan keduanya kepada Jokowi.
Seusai disandingkan dengan Umar, Jokowi dimirip-miripkan dengan Ali bin Abi Thalib, khalifah terakhir yang tentu juga dikenal bijaksana sebagai pemimpin. Adalah Koordinator Pandu Jokowi, Haryanto Subekti, yang mengomparasikannya. Menurut dia, Jokowi cerdik dalam mengelola negara dengan merangkul lawan dan piawai mengendalikan goncangan politik. Mirip Ali.
Itu pun belum seberapa. Yang termutakhir lebih wow lagi. Tak tanggung-tanggung, kata kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dedy Nur Palakka, Pak Jokowi sebenarnya sudah memenuhi syarat sebagai nabi, tapi dia lebih menikmati menjadi manusia biasa. Begini penuturan lengkap di akun X pribadinya, beberapa hari lalu, untuk membalas komentar miring warganet yang menyindir kedekatan Jokowi dengan rakyat.
'Jadi nabi pun sebenarnya beliau ini sudah memenuhi syarat, cuman sepertinya beliau menikmati menjadi manusia biasa dengan senyum selalu lebar ketika bertemu dengan rakyat. Sementara di dunia lain masih ada saja yang tidak siap dengan realitas bahwa tugas kenegaraan beliau sudah selesai dengan paripurna', tulis Dedy.
Berlebihankah? Yang pasti Dedy kebanjiran kecaman. Kebablasankah? Yang jelas Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hukum dan HAM, KH Ikhsan Abdullah, menyebut pernyataan Ketua Biro Ideologi dan Kaderisasi DPW PSI Bali itu sebagai bentuk penistaan agama.
Aneh memang. Hanya Allah SWT, Tuhan Yang Mahakuasa, yang memiliki kehendak dan pengetahuan untuk memilih nabi dan rasul-Nya. Hanya Dia yang tahu seseorang memenuhi syarat untuk menjadi nabi atau rasul. Bukan malaikat, bukan pula manusia, termasuk Dedy. Ayak-ayak wae.
Dedy telah meminta maaf. Pak Jokowi juga menegaskan bahwa nabi terakhir ialah Nabi Muhammad SAW. Dia mengingatkan siapa saja, termasuk anak buah anaknya, Kaesang Pangarep, di PSI itu untuk berpikir rasional. Rasionalitas memang menjadi pertaruhan ketika kecintaan, dukungan, dan loyalitas kepada seseorang berlebihan, hingga menjurus ke pengultusan.
Pengultusan bisa datang dari keterpesonaan, kekaguman, lalu lama-kelamaan mematikan nurani dan nalar. Seseorang bisa dikultuskan, tapi juga bisa sengaja mengultuskan diri. Apa pun itu, itu berbahaya karena pengultusan melahirkan sikap taklid buta tanpa ada kontrol logika, tanpa pertimbangan baik buruk, salah atau benar.
Pengultusan bisa terjadi di semua bidang. Di dunia klenik, urusan spiritual, pengultusan kepada seseorang bisa menjadi bumerang yang mengultuskan. Di dunia politik atau kenegaraan, pengultusan bahkan lebih membahayakan. Karl Popper, filsuf politik asal Austria, mengkritik keras kultus individu dan otoritarianisme yang dapat mengancam kebebasan dan keadilan. Dia menekankan pentingnya demokrasi yang terbuka dan kritis.
Bung Karno yang pernah dikritik karena kultus individu terhadap dirinya juga mengkritik pengultusan. Demikian halnya dengan Bung Hatta dan cendekiawan Nurcholish Madjid. Bagi mereka, kultus individu ialah ancaman bagi kebebasan dan dapat mengarah ke penyalahgunaan kekuasaan.
Mendukung pemimpin tak perlu berlebihan, apalagi sampai mengultuskan. Itu tidaklah baik, terlebih jika yang dikultuskan ialah sosok yang seolah-olah baik.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved