Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

Perlindungan TKDN: Sudah, tapi Belum

14/5/2025 05:00
Perlindungan TKDN: Sudah, tapi Belum
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

BANYAK analis ekonomi kerap bicara soal TKDN, akhir-akhir ini. Begitulah ketika kebijakan tentang tingkat komponen dalam negeri yang menjadi syarat untuk berusaha di negeri ini terus disoal, terutama oleh investor dari 'Negeri Paman Sam'. Singkatan TKDN pun menjadi terkenal, seterkenal QRIS. Baik kebijakan TKDN maupun QRIS dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri.

Namun, dua-duanya disoal dalam negosiasi tarif dagang Indonesia-Amerika Serikat (AS). Kedua beleid itu dianggap sebagai hambatan perdagangan yang merugikan AS. Para pengusaha AS meminta agar kebijakan TKDN dilonggarkan, kalau perlu dihapus, bila Indonesia tidak ingin 'dicekik' 'Paman Sam' dalam skema tarif resiprokal.

Lalu, Indonesia pun manut. Pemerintah mengevaluasi kebijakan yang baru berumur empat tahun itu. Lewat Peraturan Presiden (Perpres) No 46/2025 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dilonggarkanlah ketentuan tentang TKDN barang yang wajib dibeli pemerintah, dari awalnya 40% menjadi hanya 25%. Perpres itu dianggap jalan tengah: mengikuti kemauan investor, tapi enggak losdol menjadikannya 0%. Artinya, pemerintah masih punya 'niat baik' melindungi produksi dalam negeri.

Namun, apakah dengan menyisakan ruang 25% bagi kandungan dalam negeri sudah otomatis produk dalam negeri terlindungi? Jawabnya yang pas kira-kira: 'sudah, tapi belum'. Alat pelindung sudah ada, tapi belum bisa memayungi industri dalam negeri.

Saya sepakat dengan ekonom Center of Reformon Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang menilai kehadiran beleid baru hasil koreksi itu tak akan berdampak banyak terhadap penguatan industri dalam negeri jika tak dibarengi iktikad membendung barang impor. Sekalipun pemerintah telah menurunkan batas minimum kandungan dalam negeri, keberadaan barang impor, terlebih yang berharga sangat murah, akan tetap menjadi momok bagi industri Tanah Air.

Itu disebabkan dalam praktiknya, produk impor itu bisa diakali. Tinggal poles di sana-sini sehingga seolah sudah memenuhi syarat administratif 25%, habis perkara. Ketentuan itu bahkan berpotensi dimanfaatkan sebagai pintu belakang bagi masuknya produk impor dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Minimnya pengawasan membuat produk impor dengan mudah disamarkan seakan telah memenuhi syarat TKDN.

Karena itu, alih-alih menjadi pendorong bagi pelaku industri untuk meningkatkan kandungan lokal mereka, ketentuan baru yang mudah diakali tersebut justru semakin membuka celah untuk produk impor. Alhasil, industri manufaktur dalam negeri tetap akan megap-megap. Bayangkan, saat masih ada syarat TKDN 40% saja bentuk perlindungan itu nyaris tak terasa di lapangan, apalagi setelah diturunkan.

Karena itu, penurunan syarat TKDN tersebut berpotensi melemahkan upaya transformasi industri di dalam negeri. Kualitas dan kapasitas industri akan tetap lemah sehingga kehilangan daya saing. Keberhasilan kebijakan TKDN sangat bergantung pada ketegasan pemerintah dalam menutup celah manipulasi data serta komitmen memperkuat kapasitas industri lokal secara konkret. Tanpa pengawasan ketat dan dukungan riil terhadap sektor industri, niat baik untuk memperkuat industri domestik justru bisa berubah jadi kontradiktif antara regulasi dan realitas di lapangan.

Celah masuknya impor ilegal ke Indonesia memang masih menganga. Saya lalu teringat heboh selisih data impor-ekspor pakaian jadi Indonesia dan Tiongkok, tahun lalu. Saat itu, banyak pihak mendapati impor pakaian ilegal yang merusak pasar dalam negeri karena dijual lebih murah jika dibandingkan dengan produk lokal ataupun impor resmi nyaris melenggang bebas. Bahkan, masuknya impor ilegal pakaian jadi itu diduga telah berlangsung puluhan tahun.

Hal itu tecermin pada adanya perbedaan data ekspor pakaian jadi dari Tiongkok ke Indonesia yang dirilis International Trade Center atau ITC jika dibandingkan dengan data impor pakaian jadi ke Indonesia dari Tiongkok yang dirilis Badan Pusat Statistik atau BPS. Perbedaan data ekspor pakaian jadi itu bahkan diduga sudah berlangsung sejak dua dekade lebih.

Bahkan, Kementerian Koperasi dan UKM (saat itu) mencatat sekitar 50% nilai impor tekstil dan nontekstil (TNT) dari Tiongkok ke Indonesia tidak tercatat alias ilegal. Data impor Tiongkok ke Indonesia hampir tiga kali lipat lebih besar daripada data impor Indonesia dari Tiongkok yang tercatat secara resmi. Produk impor yang bisa masuk secara ilegal dan membanjiri pasar dalam negeri itu membuat industri lokal tidak hanya kian sulit bersaing, tapi juga makin ngap-ngapan.

Dampak masuknya pakaian impor ilegal terhadap perekonomian negara, tulis Kementerian UKM, ialah kehilangan potensi serapan 67 ribu tenaga kerja dengan total pendapatan karyawan Rp2 triliun per tahun. Selain itu, Indonesia kehilangan potensi produk domestik bruto (PDB) multisektor TPT sebesar Rp11,83 triliun per tahun. Di sektor pajak, juga sekitar Rp6,2 triliun negara tekor.

Karena itu, penyusunan regulasi persaingan usaha tidak sehat dalam praktik perdagangan, khususnya perdagangan secara daring, tidak cukup setengah-setengah. Tidak boleh sekadar ada. TKDN bisa diubah berkali-kali, naik atau turun, tapi bila pengawasan dan penegakan hukum terhadap produk-produk ilegal yang masuk ke Indonesia lemah, ya, enggak akan berpengaruh.

Jangan sampai upaya negeri ini melindungi anak bangsanya sendiri tidak maksimal. Jangan pula kita terus-menerus kebingungan menjawab saat ditanya, 'apakah industri dalam negeri sudah benar-benar dilindungi?' Karena bingung, terpaksa kita jawab: 'sudah, tapi belum'.



Berita Lainnya
  • Ibadah bukan Ladang Rasuah

    16/8/2025 05:00

    LADANG ibadah malah dijadikan ladang korupsi.

  • Maaf

    14/8/2025 05:00

    KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.

  • Maksud Baik untuk Siapa?

    13/8/2025 05:00

    ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.

  • Ambalat dalam Sekam

    12/8/2025 05:00

    BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • Blokir Rekening di Ujung Lidah

    11/8/2025 05:00

    KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.

  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.