Headline
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.
MODERNITAS memang menjanjikan banyak hal. Ada 'janji' mendapatkan kecepatan, kemudahan, kedekatan virtual, keterjangkauan, juga 'hil-hil yang dulu dianggap mustahal'. Pokoknya, dengan teknologi, melalui kecerdasan buatan, hampir semua hal bisa diwujudkan.
Kendati begitu, sudah sejak lama pula modernitas dikritik bakal menyisakan masalah. Hegel dan Marx sudah mengkritik residu modernitas itu sejak seabad lebih yang lalu. Mereka menyebut modernitas menciptakan alienasi, keterasingan.
Erich Fromm, seorang psikoanalis, juga sudah menyebut soal keterasingan kaum modernitas itu lima dekade lalu. Ia menyebut modernitas membuat banyak orang sakit. Karena itu, kata Fromm, untuk menyembuhkan masyarakat modern yang sakit itu harus dilakukan perubahan, bukan hanya dalam satu aspek kehidupan, melainkan juga seluruh bidang, termasuk struktur karakter manusia dan aktivitas kebudayaan.
Mungkin karena terinspirasi oleh tulisan Fromm atau kian banyaknya tekanan hidup, kini semakin ngetren orang memilih jalan hidup slow living. Gaya hidup manusia modern yang agak 'mengerem' itu bukan berarti hidup serbalambat atau malas, melainkan hidup yang lebih seimbang, kian sadar, dan makin bermakna.
Di sejumlah portal berita, kini juga kian menjamur artikel-artikel soal slow living. Ada yang menulis kiat-kiat. Ada yang menulis Slow Living: Pengertian, Manfaat, & Cara Melakukannya. Hingga ada artikel soal tempat-tempat yang pas buat menerapkan slow living seperti di Magelang, Salatiga, Wonosobo, Temanggung (semuanya di Jawa Tengah); Malang, Jawa Timur; atau Yogyakarta.
Pilihan itu boleh jadi disebabkan mereka merasa dunia akhir-akhir bergerak amat cepat. Bahkan, dirasakan terlalu cepat. Mereka menyaksikan saat naik transportasi umum, orang-orang berebut masuk dan keluar. Naik tangga atau eskalator di stasiun kereta commuter atau di sejumlah mal juga berdesakan. Semua terburu-buru. Mereka berjalan setengah berlari.
Melihat, merasakan, dan menjalani situasi seperti itu, bagi mereka, terasa melelahkan. Lari, bergerak, berebut setiap saat membuat tubuh dan pikiran jadi kewalahan. Akhirnya, orang mulai berpikir untuk menjalankan gaya hidup slow living, mungkin seperti prinsip alon-alon waton kelakon alias pelan-pelan tapi tercapai.
Sekali lagi, slow living memiliki konsep tidak menyerah dengan kehidupan yang berjalan cepat, tapi memperlambat dan fokus pada hal-hal kecil yang biasanya diabaikan. Mereka menolak terjebak pada rutinitas. Hidup perlu menyediakan waktu untuk melakukan hobi yang benar-benar disukai, bahkan menikmati alam tanpa harus bersama telepon seluler, menjauh dari telepon pintar untuk sementara waktu.
Intinya, menjalani dan melakukan semua hal yang membuat hidup merasa lebih baik. Mereka tidak lupa bahagia, tidak terlalu stres, dan hidup lebih damai, menghargai kehidupan. Mereka yang memilih slow living berfokus pada melakukan segala sesuatu dengan baik, bukan dengan cepat. Mereka memprioritaskan waktu untuk hal yang benar-benar penting; meskipun harus dilakukan dengan lambat dan lama, hasilnya sempurna.
Namun, selalu saja ada kritik. Itu biasa. Sejumlah orang yang mengkritisi gejala slow living itu menilai bahwa pilihan gaya hidup 'melambat' itu lambang kekalahan. Mereka dinilai kalah bertarung lalu memilih jalan lari dengan bumbu-bumbu asketis.
Ada pula yang mengomentari bahwa kita selalu hidup dalam dua pendulum yang gampang bergeser. Malah, ada yang menyebut kita bangsa yang setengah-setengah, tidak pernah full. "Baru juga setengah modern, sudah mengeluhkan hidup yang serbacepat. Padahal, yang kita butuhkan malah tambahan kecepatan agar menjadi bangsa maju," kata seorang teman yang menolak slow living.
Namun, slow living atau fast living memang pilihan merdeka. Ia bisa menjadi alternatif. Lebih-lebih ketika hujan pungutan mulai mendera kaum modern (atau setengah modern) di banyak tempat. Ada pajak pertambahan nilai (PPN) yang dinaikkan mulai Januari 2025. Ada tambahan pajak kendaraan bermotor. Ada subsidi yang dialihkan.
Rupa-rupa pungutan itu saling gegas, berpacu, berburu untuk diberlakukan tahun depan. Karena itu, tekanan hidup pasti bertambah. Sumbu hidup terus dipacu. Ruang bernapas kian sesak. Slow living ialah jalan alternatif. Ia upaya mengatur napas, menyelonjorkan kaki, membasuh muka.
Singkatnya, para penganut slow living sedang hendak mematikan autopilot dan memberikan ruang merefleksi dan menjalani hidup dengan kesadaran penuh. Mereka mengartikan slow living sebagai hidup yang lebih baik, bukan lebih cepat. Bukan tertinggal, melainkan mengedepankan prioritas dan kenyamanan.
Boleh-boleh saja. Sah-sah saja. Sama sahnya ketika Theodore KS menggambarkannya lewat lirik lagu Balada Sejuta Wajah yang dipopulerkan God Bless.
'Mengapa semua berkejaran dalam bising
Mengapa oh mengapa
Sejuta wajah engkau libatkan dalam himpitan kegelisahan
Adakah hari esok makmur sentosa
bagi wajah-wajah yang menghiba'.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved