Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
BARANGKALI hanya sedikit di antara kita yang asing dengan pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bahasa Inggrisnya apple never falls far from the tree. Artinya sifat, tingkah laku, dan kebiasaan orangtua akan diikuti anak mereka.
Masih ada peribahasa dengan arti serupa. Like father like son. Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan jua. Atau, untuk konotasi yang cenderung negatif, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Apa yang dilakukan, diajarkan, oleh orangtua, oleh guru, akan ditiru anak mereka, murid mereka.
Pepatah itu makin pas untuk menggambarkan Gibran Rakabuming Raka. Gibran ialah Wakil Presiden Republik Indonesia. Dia masih muda, bahkan termuda sebagai orang nomor dua di negeri ini. Usianya baru 37 tahun. Gibran putra mbarep Presiden Ke-7 RI Joko Widodo. Tak cuma anak biologis, dia kiranya juga anak ideologis Jokowi.
Gibran bisa menjadi wapres yang utama ialah karena dia anak Jokowi yang ketika pilpres masih menjadi presiden. Gibran bisa menjadi wapres lantaran akal-akalan di Mahkamah Konstitusi yang kala itu diketuai Paman Usman. Gibran bisa menjadi wapres juga karena meniru cara dan gaya Jokowi.
Seperti bapaknya, Gibran paham betul pentingnya popularitas dalam politik. Karena itu, dia rajin melakukan banyak hal agar populer, agar dikenal rakyat, agar terus berada di orbit pembicaraan publik. Soal patut tidak patut, perihal elok tidak elok, itu lain soal. Yang penting tenar, yang penting citranya baik.
Banyak yang menilai Jokowi bisa menjadi presiden karena hebat dalam pencitraan. Semua berawal dari mobil 'gaib' Esemka, muasalnya dari gorong-gorong. Begitu istilah yang kerap terucap dari mulut oposan. Jokowi kembali terpilih untuk periode kedua juga tak lepas dari keberhasilan memoles citra. Dia ialah presiden yang paling kerap berkunjung ke daerah, meresmikan proyek-proyek pembangunan. Perihal urgen-tidaknya kunjungan yang dia lakukan, itu soal lain.
Jokowi ialah presiden yang paling suka bagi-bagi bansos, juga menyebar bingkisan atau sekadar kaus. Pada masa Pilpres 2024 saat anaknya ikut berkompetisi, dia 24 kali melakukan kunjungan dan membagikan bansos ke Jawa Tengah. "This is unprecedented and only in Indonesia," begitu kata Todung Mulya Lubis dalam sengketa hasil pilpres di MK.
Apakah bagi-bagi bansos secara langsung merupakan ranah presiden, urusan presiden, itu tak penting. Yang penting nama Jokowi baik di mata rakyat. Hasilnya memang oke, tingkat kepuasan terhadap dirinya sekitar 80%. Tertinggi untuk seorang presiden, tak cuma di Indonesia, bahkan di dunia. Alasannya? Ya itu tadi, salah satunya soal bansos.
Bagaimana dengan Gibran? Plek ketiplek. Dia juga hobi blusukan dan menebar bantuan. Langkahnya itu bahkan sudah dilakukan sejak sebelum dilantik lalu makin intens setelah dia resmi menjadi wapres. Terakhir, dia mengunjungi warga korban banjir di Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada Kamis (28/11).
Tentu, dia datang tidak dengan tangan hampa. Bantuan dia bawa serta. Yang janggal, bantuan itu dikemas dalam tas biru bertuliskan 'Bantuan Wapres Gibran'. Tampak gambar Istana Wapres di bagian tengah goodie bag itu.
Gibran sepertinya kurang percaya diri. Dia seolah ingin kepastian untuk dikenang sebagai pejabat yang berbudi baik, yang hadir di tengah rakyat yang kena musibah sehingga namanya perlu dicantumkan di tas bantuan. Seandainya tas itu bertuliskan 'Bantuan Wapres' saja sudah dipersoalkan, terlebih ada embel-embel namanya. Untuk hal itu, dia selangkah di depan Jokowi yang dulu membagikan bingkisan dalam tas bertuliskan 'Bantuan Presiden Republik Indonesia'.
Bansos diambil dari APBN, dari dana negara, uang rakyat. Pihak istana boleh berkilah bahwa Gibran berhak memberikan bantuan atas nama jabatannya. Wapres juga dibilang punya dana operasional. Namun, ia tetaplah bersumber dari keuangan negara, duit masyarakat. Lagi-lagi ini soal kepatutan. Pantaskah wapres berulang-ulang menyerahkan langsung bansos, terlebih nama dirinya sengaja dicantumkan di tas bantuan? Patutkah wapres mem-branding dirinya dengan uang negara?
Ada yang menganggap pantas, banyak pula yang bilang tidak. Termasuk saya. Ihwal teknis bansos mestinya urusan mensos, bahkan di beberapa kasus cukup ketua RT, bukan kelasnya wapres. Tugas wapres jauh lebih besar daripada sekadar menyalurkan bantuan. Namanya RI-2, wapres seharusnya melakukan sesuatu yang lebih strategis. Ikut mendatangkan investor, misalnya. Bicara di forum-forum dengan menyampaikan gagasan-gagasan besar, umpamanya.
Tidak ada guru yang setara dengan ibu dan tidak ada yang lebih menular daripada martabat seorang ayah. Jika menukil teori match and mirror, barangkali Gibran ingin terus dilihat, didengar, dan dirasakan seperti ayahnya, Jokowi. Dalam jangka pendek, Gibran hendak menunjukkan bahwa dia bisa bekerja. Untuk jangka panjang, dia bisa jadi ingin menebalkan investasi politik untuk 2029. Masih efektifkah cara itu? Biarlah waktu yang bicara nanti.
Yang pasti, sebagian masyarakat kita masih silau dengan popularitas sebagai pengungkit elektabilitas pemimpin. Masih banyak yang abai dengan intelektualitas dan etikabilitas mereka. Mirip-mirip dengan entertainment yang di dalamnya seseorang dapat menjadi pesohor, dipuja, punya jutaan pengikut, bukan karena prestasi, melainkan lantaran sensasi dan kontroversi. Celaka nian kalau negara terus disamakan dengan dunia hiburan.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved