Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
'SEOPTIMISTIS apakah Anda terhadap kondisi perekonomian kita tahun depan? Atau, jangan-jangan Anda penganut mazhab pesimisme?" Begitu salah seorang teman menanyai saya di sela-sela mengikuti pemaparan tentang pandangan ekonomi Indonesia 2025 dari sebuah institusi perbankan.
Saya tidak menjawab di titik mana saya berdiri. Urusan optimisme atau pesimisme biar dia sendiri yang membuat klasifikasi. Saya tidak perlu membuat klarifikasi. Namun, seringnya saya berdiri di tengah, moderat. Orang banyak menilai itu abu-abu, remang-remang, tidak jelas. Tidak mengapa. Bagi saya itu risiko pilihan.
Saya lebih cenderung menjawab pertanyaan teman saya itu dengan sejumlah fakta. Ekonomi kita di 2025, kata saya kepada sang teman, agak sulit mencapai 5%. Tentu, itu lebih pesimistis bila dibandingkan dengan prediksi Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), juga prediksi sejumlah ekonom bank yang memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5,1%.
Namun, saya punya dasar keyakinan mengapa ekonomi kita sulit tumbuh 5%. Penyebab utamanya ialah mulai munculnya sejumlah pungutan tahun depan. Hujan pungutan itu mau tidak mau pasti berdampak pada melambatnya ekonomi. Disebut hujan pungutan karena jumlahnya tidak cuma satu atau dua. Ada tujuh pungutan bakal terjadi bila rencana itu dilaksanakan semuanya.
Namun, hujan jenis ini serupa sengatan, bukan guyuran. Sengatan itu bisa mematikan. Sebaliknya, guyuran itu umumnya menyejukkan, menyenangkan. Sengatan kali muncul dari tujuh arah berbeda.
Ada pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 12%, ada iuran wajib Tapera yang sempat ditunda, ada asuransi wajib kendaraan bermotor, penaikan iuran BPJS Kesehatan, pungutan cukai minuman berpemanis dalam kemasan, dana pensiun wajib, dan normalisasi pajak penghasilan (PPh) final UMKM. Total, ada tujuh, jika PPN 12% juga jadi diberlakukan.
Bila hujan pungutan itu diberlakukan serentak tahun depan, katakanlah disebar tiap dua bulan, dampaknya pasti sangat terasa, khususnya bagi kelas menengah. Daya beli mereka yang sudah terpukul bisa menjadi KO. Yang sudah rontok bisa kian berguguran. Yang sebelumnya aman bisa langsung memasang kewaspadaan.
Padahal, pertumbuhan ekonomi kita selama ini digerakkan sektor konsumsi rumah tangga, yang besarnya di kisaran 53%. Padahal lagi, dari kontribusi konsumsi yang 53% itu, peran belanja kelas menengah lebih dari separuh (di kisaran 66%).
Selain itu, lebih dari 60% pertumbuhan ekonomi kita bergantung pada pergerakan ekonomi domestik. Tingkat ketergantungan terhadap global memang ada, tapi di bawah ekonomi domestik. Di satu sisi, ini menguntungkan karena tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi global. Ada pengaruh, tapi lebih kecil ketimbang gejolak domestik. Bisa dibayangkan bagaimana rentetan akibatnya bila ekonomi domestik terganggu, bukan?
Memang, ada uang yang masuk hasil hujan pungutan itu. Dari pemberlakuan PPN 12%, misalnya, ada potensi uang masuk kas negara hingga Rp80 triliun. Dari pungutan yang lain juga bisa menambah pundi-pundi negara. Namun, akan muncul efek lain lebih dahsyat yang mesti ditanggung rakyat, khususnya kelas menengah, yakni kian sulit bernapas. Mereka makin 'tercekik'.
Berdasarkan analisis dan simulasi yang dilakukan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), penaikan PPN 1% (dari 11% saat ini menjadi 12% tahun depan) akan berdampak pada kenaikan harga yang mesti ditanggung publik 5% hingga 6%. Sejumlah analis juga menghitung ada potensi pertumbuhan ekonomi terpangkas 0,02% bila PPN 12% tetap diberlakukan pada awal tahun depan.
Itu baru dari satu item pungutan. Belum lagi bila enam item pungutan juga diberlakukan tahun depan. Belum lagi juga dampak yang terjadi bila subsidi bahan bakar minyak (BBM) bakal dialihkan sehingga para pengguna kendaraan wajib memakai BBM nonsubsidi. Jelas, kian beratlah beban pertumbuhan ekonomi kita ke depan.
Karena itu, secara momentum, pengenaan rupa-rupa pungutan itu pada tahun depan jelas tidak pas. Lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Bila ingin tetap mempertahankan ekonomi kita tumbuh 5%, ya setop dulu hujan pungutan itu.
Mengapa pemerintah, misalnya, tidak segera menerapkan pajak karbon yang sudah ada skemanya? Pemberlakuan pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang dapat merusak lingkungan hidup itu mestinya bisa diterapkan lebih dahulu ketimbang penaikan PPN. Mengapa pula tidak menggenjot rasio perpajakan yang masih terus-menerus belum sesuai dengan target yang diinginkan?
Sang teman akhirnya menyimpulkan bahwa saya masuk klasifikasi mazhab pesimistis memandang ekonomi tahun depan. Lalu saya jawab, kalimat yang tepat mungkin (meminjam bahasa Mahkamah Konstitusi saat memutuskan UU Cipta Kerja): optimisme bersyarat.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved